Liputan6.com, Moskow - Pemerintah Rusia memberikan ancaman keras bagi negara-negara yang ingin menangkap Presiden Vladimir Putin. Sebelumnya dilaporkan, Vladimir Putin memang diincar International Criminal Court (ICC) atas tuduhan kejahatan perang.
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (23/3/2023), mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev yang kini menjabat sebagai petinggi Dewan Keamanan, melayangkan ancaman dengan mengatakan senjata Rusia akan menghantam suatu negara jika Vladimir Putin ditangkap.
Advertisement
ICC, yang berbasis di Den Haag, pekan lalu mengumumkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Rusia tersebut, yang dituduh mendeportasi anak-anak Ukraina.
"Mari kita bayangkan -- jelas bahwa ini adalah situasi yang tidak akan pernah terjadi -- tetapi mari kita bayangkan itu terjadi," kata Medvedev.
"Kepala negara nuklir saat ini tiba di wilayah, katakanlah, Jerman, dan ditangkap. Apa ini? Deklarasi perang melawan Federasi Rusia,” tukasnya.
Medvedev mengatakan bahwa jika ini terjadi "semua sarana kami, roket dan lainnya, akan terbang di Bundestag, di Kantor Kanselir, dan seterusnya."
Medvedev - yang merupakan wakil ketua dewan keamanan Rusia - mengatakan keputusan ICC akan membuat hubungan dengan Barat semakin jauh.
Komentar Medvedev itu dilakukan dua hari setelah Rusia membuka penyelidikan kriminal terhadap jaksa ICC Karim Khan dan beberapa hakim ICC lainnya. Kremlin mengatakan keputusan mereka "melanggar hukum."
Pengadilan yang berbasis di Den Haag juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Maria Lvova-Belova, komisaris kepresidenan Rusia untuk hak-hak anak.
Pada Rabu (22/3), badan legislatif ICC mengatakan menyesali "ancaman" terhadap pengadilan atas surat perintahnya.
"Kepresidenan majelis menyesalkan upaya menghalangi dunia internasional untuk memastikan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilarang berdasarkan hukum internasional umum," kata ICC dalam sebuah pernyataan.
Hikmahanto Heran dengan ICC
Sebelumnya dilaporkan, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana memberikan kritik pedas terhadap langkah International Criminal Court (ICC) yang ingin menangkap Presiden Rusia Vladimir Putin. Pihak ICC menuduh Presiden Putin melanggar pasal Statuta Roma tentang deportasi paksa anak.
Namun, langkah ICC dianggap Hikmahanto sebagai "akrobat hukum". Faktor yang disorot Hikmahanto adalah Rusia sebagai kekuatan besar dunia, sehingga tidak mungkin Presiden Putin akan menyerahkan diri. Putin juga bisa bermanuver dengan mengurangi kunjungan ke luar negeri.
Keputusan ICC juga dinilai janggal, sebab Rusia tak pernah mengakui Statuta Roma.
"Upaya Jaksa international Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Kejahatan Internasional untuk melakukan penangkapan Presiden Putin terus terang janggal karena Rusia bukan penandatangan dan negara yang meratifikasi Statuta Roma sehingga tidak seharusnya Putin bisa dibawa ke ICC," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Senin (20/3/2023).
Hikmahanto juga menyorot kenapa ICC menggunakan deportasi anak sebagai alasan ingin menangkap Vladimir Putin, sebab dampak serangan Rusia ke Ukraina lebih dari sekadar anak-anak. Ia pun menduga alasan ICC dibuat-buat.
"Hal ini seolah mencari-cari alasan agar Putin dapat diseret," jelas Hikmahanto.
Advertisement
4 Alasan Vladimir Putin Sulit Ditangkap
Lebih lanjut, Hikmahanto mengungkap empat alasan kenapa Vladimir Putin akan sulit ditangkap oleh ICC.
1. Pemerintahan Putin masih tegak berdiri sehingga tidak mungkin pemerintahan Putin sendiri menyerahkan Putin ke ICC.
2. Proses ekstradisi dari ICC tidak mungkin dilakukan mengingat pemerintahan Putin akan mengabaikannya.
3. Rusia adalah negara besar yang tidak mungkin dipaksa oleh negara lain untuk menyerahkan Putin, termasuk melalui embargo ekonomi.
4. Putin akan membatasi diri untuk ke luar negeri untuk menghindari kunjungan ke negara yang bersedia untuk melakukan ekstradisi Putin atas permintaan dari Jaksa ICC.
Akrobat Hukum
Melihat sulitnya ICC menangkap Vladimir Putin, serta bagaimana Rusia tidak akan langsung menyerahkan pemimpinnya, Hikmahanto pun menganggap ICC hanya melakukan akrobat hukum.
"Proses hukum yg dilakukan oleh Jaksa ICC hanyalah akrobat hukum belaka yang tidak mungkin efektif diwujudkan," ucap Hikmahanto.
Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu juga mengingatkan bahwa ada preseden ketika langkah ICC tidak efektif. Hal itu terkait pemerintahan Sudan.
ICC ingin memanggil presiden Sudan Omar Basyir karena tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida. Pemerintah Sudan baru setuju ingin berkolaborasi dengan ICC pada 2021 setelah Basyir lengser.
"Jaksa ICC pernah mengeluarkan perintah untuk menghadirkan Presiden Sudan Omar Basyir namun baru berhasil saat pergantian pemerintahan di Sudan dan pemerintahan tersebut adalah pihak yang menjatuhkan Presiden Omar Basyir. Sehingga pemerintahan yang menggantikan tidak sungkan untuk menyerahkan mantan Presiden Omar Basyir," ujar Hikmahanto.
Advertisement