Liputan6.com, Tel Aviv - Parlemen Israel atau Knesset pada Senin (24/7/2023), mengesahkan undang-undang yang mencabut kekuasaan Mahkamah Agung untuk memblokir keputusan pemerintah. Itu merupakan bagian dari reformasi peradilan yang memecah belah negara itu dan menuai kecaman keras dari Amerika Serikat (AS).
RUU kontroversial tersebut disahkan dengan suara 64-0. Semua anggota koalisi pemerintahan memberikan suara mendukung, sementara semua anggota parlemen oposisi memilih walk out saat pemungutan suara berlangsung.
Baca Juga
Kerumunan besar pengunjuk rasa yang marah berkumpul di luar parlemen, berusaha memblokir akses ke gedung. Mereka dihadang dengan kawat berduri dan meriam air.
Advertisement
Menurut polisi Israel, setidaknya 19 demonstran telah ditangkap. Sementara itu, jauh sebelum RUU disahkan, ribuan cadangan militer, termasuk lebih dari 1.100 perwira Angkatan Udara telah mengatakan akan menolak menjadi sukarelawan jika itu terjadi.
Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas, sebuah LSM Israel, mengajukan petisi ke Mahkamah Agung segera setelah pemungutan suara berlangsung. Mereka meminta pengadilan menyatakan bahwa undang-undang tersebut ilegal dengan alasan mengubah struktur dasar demokrasi Israel. Selain itu, mereka mendesak agar undang-undang diblokir pelaksanaannya sampai pengadilan membuat keputusan.
Mantan Perdana Menteri Israel Yair Lapid menyerukan cadangan militer untuk tidak menolak bertugas sampai pengadilan memberikan keputusan.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang meninggalkan rumah sakit pada Senin pagi setelah dipasangi alat pacu jantung, turut mendorong RUU tersebut meskipun AS yang merupakan sekutu terpenting Israel mengeluarkan peringatan yang semakin kuat agar tidak melakukannya.
Menurut Netanyahu, pengesahan undang-undang itu adalah "langkah demokratis" yang diperlukan dan dia "memenuhi keinginan pemilih". Netanyahu juga meminta cadangan militer agar tidak menolak bertugas.
"Seruan penolakan itu merugikan keamanan seluruh warga negara," ujar Netanyahu seperti dilansir CNN, Selasa (25/7/2023).
Peringatan AS
Dalam langkah yang sangat tidak biasa, Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa perubahan yang terburu-buru tanpa konsensus yang luas sama dengan erosi institusi demokrasi dan dapat merusak hubungan AS-Israel.
"Mengingat berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi Israel saat ini, tidak masuk akal bagi para pemimpin Israel untuk terburu-buru – fokusnya harus pada menyatukan orang dan menemukan konsensus," kata Biden.
Biden menyampaikan keprihatinannya secara langsung kepada Netanyahu selama panggilan telepon pekan lalu dan kemudian dia memanggil kolumnis New York Times Thomas Friedman ke Oval Office untuk memperjelas sikapnya.
Berbicara setelah Knesset mengesahkan RUU tersebut pada Senin, Gedung Putih mengatakan, "Disayangkan bahwa pemungutan suara hari ini dilakukan dengan mayoritas sekecil mungkin."
Advertisement
Tidak Ada Tanda-tanda Protes Berhenti
Perdebatan sengit tentang reformasi peradilan Israel telah mengadu koalisi kelompok sayap kanan dan agama dengan bagian masyarakat Israel yang sekuler dan liberal, memicu protes terpanjang dan terbesar dalam 75 tahun sejarah negara itu.
Israel, yang tidak memiliki konstitusi tertulis dan tidak memiliki majelis tinggi parlemen, memiliki Mahkamah Agung yang relatif kuat, yang menurut para pendukung perubahan itu bermasalah. Pada saat yang sama, Mahkamah Agung adalah satu-satunya pengawas kekuasaan Knesset dan pemerintah karena cabang eksekutif dan legislatif selalu dikendalikan oleh koalisi pemerintahan yang sama.
Netanyahu dan sekutunya menyebut tindakan itu "reformasi" dan mengatakan mereka diharuskan untuk menyeimbangkan kembali kekuasaan antara pengadilan, anggota parlemen, dan pemerintah. Bagian lain dari reformasi akan memberi koalisi Netanyahu lebih banyak kendali atas penunjukan hakim dan akan mencopot penasihat hukum independen dari kementerian pemerintah.
Kubu penentang menyebut reformasi sebagai "kudeta" dan mengatakan hal itu akan menjadikan Israel kediktatoran dengan menghapus pengawasan paling signifikan atas tindakan pemerintah. Mereka mengklaim Netayahu mendorong reformasi sebagai upaya melindungi diri dari kasus korupsi, di mana dia menghadapi tuduhan penipuan, penyuapan, dan pelanggaran kepercayaan. Netanyahu sendiri menyangkal melakukan kesalahan.
RUU lain, yang sudah disahkan pada Maret, mempersulit perdana menteri yang sedang menjabat untuk dinyatakan tidak layak menjabat, membatasi alasan ketidakmampuan fisik atau mental dan mengharuskan perdana menteri sendiri, atau dua pertiga kabinet, untuk memilih deklarasi semacam itu.
Terlepas dari kemenangannya pada Senin, Netanyahu kemungkinan akan menghadapi lebih banyak tekanan atas reformasi peradilan.
Protes massal yang melanda Israel sejak reformasi pertama kali diumumkan pada Januari diyakini tidak akan berhenti. Pasalnya, setelah mendengar RUU disahkan, pengunjuk rasa di luar Knesset mulai berbaris dan meneriakkan, "Kami tidak akan menyerah. Kami tidak akan menyerah sampai menjadi lebih baik."