Liputan6.com, Jakarta - Pengunjuk rasa pro-Palestina di Australia berunjuk rasa dengan bendera semangka besar.
Ratusan pengunjuk rasa pro-Palestina di Melbourne berkumpul di pusat kota Australia hari ini, Kamis (23/11) dengan puluhan orang mengibarkan bendera besar berbentuk semangka.
Baca Juga
Buah yang memiliki warna bendera Palestina ini merupakan simbol solidaritas Palestina, dikutip dari BBC, Kamis (23/11/2023).
Advertisement
Bendera ini pertama kali digunakan untuk tujuan ini setelah perang enam hari antara Israel dan negara-negara tetangganya pada tahun 1967.
Saat itu, pihak berwenang Israel mengkriminalisasi pengibaran bendera Palestina di depan umum di Gaza dan Tepi Barat.
Kecaman terhadap Israel terus berdatangan. Salah satunya dari para pemimpin negara anggota BRICS menyatakan bahwa pemindahan paksa warga Palestina, di dalam atau di luar Gaza, sebagai “kejahatan perang.”
“Kami mengutuk segala bentuk pemindahan paksa dan deportasi warga Palestina dari tanah mereka sendiri secara individu atau massal,” demikian bunyi pernyataan tersebut, dikutip dari laman Al Jazeera.
Kelompok tersebut juga “menegaskan kembali bahwa pemindahan paksa dan deportasi warga Palestina, baik di Gaza atau ke negara-negara tetangga, merupakan pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa dan kejahatan perang serta pelanggaran berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.”
BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, yang merupakan negara-negara berkembang yang ingin memberikan suara lebih besar dalam tatanan global yang telah lama didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya.
Serangan Sejak 7 Oktober 2023
Namun bukan hanya lima negara ini yang berbicara mengenai perang. Awal tahun ini, BRICS telah sepakat untuk memperluas dan menambahkan Mesir, Ethiopia, Argentina, Arab Saudi, UEA, dan Iran sebagai anggota mulai tahun 2024.
Para pemimpin keenam negara ini juga berpartisipasi dalam pertemuan yang diserukan oleh Afrika Selatan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres juga bergabung dalam pertemuan puncak tersebut.
Konflik tersebut dimulai setelah serangan pada tanggal 7 Oktober terhadap komunitas Israel oleh kelompok bersenjata Hamas yang menyebabkan 1.200 orang terbunuh dan 240 lainnya disandera.
Sebagai tanggapan, Israel terus-menerus menembaki Gaza, menargetkan rumah sakit, sekolah dan kamp pengungsi dan membunuh lebih dari 13.000 orang, banyak dari mereka adalah anak-anak dan aksi ini dianggap melanggar hukum internasional.
Advertisement
Israel dan Hamas Diperkirakan Bakal Tukar Sandera pada 23 November 2023
Israel mengumumkan kesepakatan terkait pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas. Kesepakatan ini disampaikan oleh kantor PM Benjamin Netanyahu yang menyebutkan bahwa 50 sandera yang terdiri dari perempuan dan anak-anak akan dibebaskan selama empat hari dan selama itu akan ada jeda dalam pertempuran.
Dikutip dari laman Voice of America, pembebasan pertama para sandera diperkirakan akan dilakukan pada Kamis, 23 November.
Pemberlakuan kesepakatan itu harus menunggu 24 jam untuk memberi kesempatan kepada warga Israel untuk meminta Mahkamah Agung Israel memblokir pembebasan tahanan Palestina, kata sejumlah laporan.
Sejauh ini, Hamas baru membebaskan empat sandera: warga negara AS Judith Raanan (59 tahun) dan putrinya, Natalie Raanan (17 tahun), pada 20 Oktober, dengan “alasan kemanusiaan,” dan warga negara Israel Nurit Cooper (79 tahun) dan Yocheved Lifshitz (85 tahun) pada 23 Oktober.
Sayap bersenjata kelompok militan Palestina Jihad Islam, yang berpartisipasi dalam serangan 7 Oktober bersama Hamas, mengatakan pada Selasa malam bahwa salah satu sandera Israel yang mereka sandera sejak serangan 7 Oktober ke Israel telah tewas.
“Kami sebelumnya menyatakan kesediaan kami untuk melepaskannya karena alasan kemanusiaan, namun musuh mengulur waktu dan hal ini menyebabkan kematiannya,” kata Brigade Al Quds di saluran Telegramnya.