Liputan6.com, Jakarta - Peneliti dari Chinese Academy of Sciences mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan air di Samudra Atlantik menjadi lebih asin dibandingkan dengan Samudra Pasifik. Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change pada 28 Juni 2024 ini mengungkapkan bahwa dalam lima dekade terakhir, salinitas perairan Samudra Atlantik telah meningkat secara signifikan.
Bahkan, kontras salinitas antara Atlantik dan Pasifik tercatat meningkat sebesar 5,9 persen ± 0,6 persen. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut di dalam air laut.
Advertisement
Melansir laman IFL Science pada Senin (11/11/2024), peningkatan salinitas di Samudra Atlantik disebabkan oleh perubahan dalam pola sirkulasi samudra yang mengarah pada penguapan yang lebih intens di wilayah tropis dan subtropis Atlantik. Proses ini membuat air laut di daerah tersebut semakin terkonsentrasi garamnya.
Advertisement
Baca Juga
Hal ini berbeda dengan kondisi di Samudra Pasifik, yang memiliki hubungan langsung dengan sejumlah sungai besar. Sungai-sungai ini memasok air tawar ke lautan, yang membantu memperbarui kandungan air laut dan mengurangi konsentrasi garam.
Dalam studi terbaru ini, para ilmuwan menyimpulkan bahwa perubahan dalam sirkulasi samudra dipicu oleh perubahan iklim global serta dinamika sistem cuaca yang semakin tidak stabil. Salah satu temuan utama dalam penelitian ini adalah bahwa peningkatan suhu laut telah menyebabkan lapisan laut yang dipengaruhi perubahan suhu yang cepat (termasuk lapisan termoklin) bergerak lebih dekat ke kutub.
Sementara itu, perubahan pola angin telah menggerakkan air laut di kawasan lintang tengah. Penelitian menunjukkan bahwa kontras salinitas antara Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik meningkat hampir 6 persen antara 1965 dan 2018, dengan efek yang paling terasa di kedalaman sekitar 800 meter di kawasan lintang tengah utara.
Terjadi di Samudra Pasifik
Fenomena yang serupa juga terjadi di Samudra Pasifik, meskipun peningkatan salinitasnya tidak sejelas di Atlantik. Namun, meskipun temuan ini menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, para ilmuwan mengakui bahwa mereka belum sepenuhnya memahami mekanisme yang mendasari perubahan salinitas ini.
Ketika para peneliti mencoba mereplikasi kondisi ini melalui model yang didorong oleh data atmosfer dunia nyata, Model tersebut mengalami kesulitan untuk secara akurat menggambarkan kondisi yang diamati di wilayah-wilayah tertentu.
Akibatnya, terdapat ketidakpastian dalam pemahaman mengenai mekanisme yang mendasari fenomena ini, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian tersebut. Meskipun penjelasan mekanistisnya belum ditemukan, temuan bahwa salinitas di Samudra Atlantik meningkat dapat memiliki dampak yang luas terhadap ekosistem laut.
Peningkatan salinitas ini, misalnya, dapat mendorong lebih banyak panas antropogenik (yang dihasilkan oleh aktivitas manusia) ke dalam lautan, sehingga menciptakan "titik panas" yang bertahan lama. Salah satu dampak dari hal ini adalah kesulitan bagi oksigen dan nutrisi untuk bergerak ke permukaan dan ke kedalaman laut, yang pada gilirannya dapat mengganggu proses-proses biologis di laut.
Dampaknya bisa sangat besar terhadap ekosistem laut. Kekurangan oksigen di lapisan laut dangkal dan tengah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman laut, alga, serta organisme lainnya.
Karena oksigen memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung kehidupan biota laut, peningkatan salinitas yang drastis dapat mengganggu rantai makanan di lautan, dengan efek yang berpotensi merusak kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan.
(Tifani)
Advertisement