Muhammad Morsi merupakan presiden sipil pertama di Mesir yang dipilih melalui pemilu demokratis yang pertama kalinya juga. Namun kekuasaannya tak berlangsung lama setelah pada Rabu 3 Juli kemarin ia digulingkan oleh militer yang didukung jutaan rakyat.
Dalam sejarah Mesir, militer memang pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Kembalinya peran militer dalam kancah politik Negeri Piramida itu memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Mesir.
Tayangan Liputan 6 Petang SCTV, Kamis (4/7/2013), melansir sejarah perkembangan politik Mesir di bawah kepemimpinan junta militer. Gamal Abdul Nasir menjadi pemimpin terkemuka dalam sejarah kekuasaan di Mesir. Kepemimpinan Gamal menandai dimulainya kekuasaan militer di negeri tersebut sekaligus mengakhiri era monarki. Tahun 1952, Gamal menggulingkan Raja Farouk dan naik tahta pada 1954 sebagai kepala negara.
Pada 1970, Gamal meninggal akibat penyakit jantung dan digantikan wakilnya, Anwar Sadat. Sebelum menjadi presiden dan wakil presiden, Anwar memegang posisi penting di jajaran militer. Namun sikap Anwar yang mendukung Israel, membuat kemarahan kelompok radikal membuncah. Ia dibunuh kelompok radikal saat menghadiri acara parade militer pada 1981 lalu.
Pemimpin Mesir pun bergeser kepada wakilnya yang saat itu dijabat Husni Mubarak. Latar belakang Mubarak sebagai tokoh penting di Angkatan Udara Mesir kian mengukuhkan cengkraman kekuasaan militer di Mesir. Mubarak pun membangun rezim otoriter dan berkuasa hingga 30 tahun.
Namun, gelombang kemarahan rakyat dapat menggulingkan Mubarak. Setelah itu, Mesir pun memasuki era baru dalam berdemokrasi.
Dalam pemilu demokratis pertama yang digelar pada 2011 lalu, Mesir memiliki pemimpin yang berasal dari sipil. Muhammad Morsi yang berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin menorehkan sejarah baru sebagai pemimpin sipil pertama yang dipilih secara demokratis.
Namun berbagai ketidakpuasan kemudian muncul terutama dipicu oleh memburuknya kondisi ekonomi di Mesir. Ditambah dengan keputusan Presiden Morsi yang mengamandemen konstitusi dan menimbulkan instabilitas internal negeri.
Gerakan rakyat pun menemui puncaknya setelah militer turun tangan menggulingkan sang presiden. Kekuasaan sementara memang diserahkan kepada ketua Mahkamah Konstitusi Adli Mansour hingga pemilu digelar.
Namun kembalinya peran militer menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Mesir. Akankah militer yang pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama di Negeri Firaun itu dapat kembali memegang kendali Mesir? (Ali/Mut)
Dalam sejarah Mesir, militer memang pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Kembalinya peran militer dalam kancah politik Negeri Piramida itu memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Mesir.
Tayangan Liputan 6 Petang SCTV, Kamis (4/7/2013), melansir sejarah perkembangan politik Mesir di bawah kepemimpinan junta militer. Gamal Abdul Nasir menjadi pemimpin terkemuka dalam sejarah kekuasaan di Mesir. Kepemimpinan Gamal menandai dimulainya kekuasaan militer di negeri tersebut sekaligus mengakhiri era monarki. Tahun 1952, Gamal menggulingkan Raja Farouk dan naik tahta pada 1954 sebagai kepala negara.
Pada 1970, Gamal meninggal akibat penyakit jantung dan digantikan wakilnya, Anwar Sadat. Sebelum menjadi presiden dan wakil presiden, Anwar memegang posisi penting di jajaran militer. Namun sikap Anwar yang mendukung Israel, membuat kemarahan kelompok radikal membuncah. Ia dibunuh kelompok radikal saat menghadiri acara parade militer pada 1981 lalu.
Pemimpin Mesir pun bergeser kepada wakilnya yang saat itu dijabat Husni Mubarak. Latar belakang Mubarak sebagai tokoh penting di Angkatan Udara Mesir kian mengukuhkan cengkraman kekuasaan militer di Mesir. Mubarak pun membangun rezim otoriter dan berkuasa hingga 30 tahun.
Namun, gelombang kemarahan rakyat dapat menggulingkan Mubarak. Setelah itu, Mesir pun memasuki era baru dalam berdemokrasi.
Dalam pemilu demokratis pertama yang digelar pada 2011 lalu, Mesir memiliki pemimpin yang berasal dari sipil. Muhammad Morsi yang berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin menorehkan sejarah baru sebagai pemimpin sipil pertama yang dipilih secara demokratis.
Namun berbagai ketidakpuasan kemudian muncul terutama dipicu oleh memburuknya kondisi ekonomi di Mesir. Ditambah dengan keputusan Presiden Morsi yang mengamandemen konstitusi dan menimbulkan instabilitas internal negeri.
Gerakan rakyat pun menemui puncaknya setelah militer turun tangan menggulingkan sang presiden. Kekuasaan sementara memang diserahkan kepada ketua Mahkamah Konstitusi Adli Mansour hingga pemilu digelar.
Namun kembalinya peran militer menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Mesir. Akankah militer yang pernah berkuasa dalam kurun waktu yang lama di Negeri Firaun itu dapat kembali memegang kendali Mesir? (Ali/Mut)