Liputan6.com, Jakarta Candi Prambanan benar-benar menjadi galeri buat payung tradisional nusantara. Venue Festival Payung Indonesia 2019, menampilkan beragam karya payung dari sejumlah daerah. Payung-payung tersebut ditampilkan dengan karakter khasnya. Festival Payung Indonesia 2019 berlangsung 6-8 September. Sedikitnya terdapat 15 kelompok pengrajin dan penggiat craft yang bergabung. Mereka datang dari beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Klaten, Banyumas, Kendal, Malang, dan Tasikmalaya. Ada juga perwakilan payung tradisi dari Sawahlunto dan Klungkung.
“Ada banyak versi payung yang ditampilkan daerah di sini. Kesemuanya itu artistik dengan karakternya masing-masing. Wisatawan bisa menikmati karya terbaik itu secara utuh. Mereka bisa berkomunikasi atau bahkan belajar langsung dengan para pengrajinnya di venue festival,” ungkap Heru Mataya, Direktur Program Festival Payung Indonesia 2019 pada Jumat (6/9).
Baca Juga
Dalam budaya Jawa, payung atau Songsong (sebutan untuk krama inggil) bahkan bisa menjadi penanda strata sosial. Bagi seorang raja, payungnya direpresentasikan melalui Gubeng, Bawat, dan Agung. Penandanya ada 3 susunan payung. Untuk para pangeran, payungnya berupa Songsong Gilap.
Advertisement
“Payung memang menjadi sebuah tradisi yang luar biasa. Posisinya sangat tinggi di beberapa kalangan, bahkan menjadi simbol strata sosial. Lebih detailnya, silahkan datang ke Festival Payung Indonesia 2019 ini. Apalagi, Jumat ini baru dibuka,” ujar Heru lagi.
Beragam keunikan juga ditawarkan payung-payung khas Juwiring, Klaten. Daerah itu identik sebagai penghasil payung kertas sejak 1965. Pada eranya, hasil produksi payung Juwiring pun sudah diekspor ke mancanegara. Bahan bakunya Bambu Wulung hingga Kayu Mahoni atau Kenanga. Warnanya beragam. Coraknya khas dengan galur bunga hingga dekoratif.
“Festival Payung Indonesia 2019 memang menawarkan beragam karakter payung. Semuanya artistik dan sangat memanjakan mata. Payung-payung tradisional ini tentu menjadi kekayaan lain pariwisata di Indonesia. Semakin menegaskan nusantara sebagai destinasi wisata terbaik bagi dunia,” terang Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani.
Keunikan juga ditawarkan payung tradisional khas Kendal. Apalagi, Kendal memiliki beberapa sentra penghasil payung tradisional seperti Kampung Ngaglik di Kaliwungu. Jenis yang dikembangkannya itu berupa payung kertas dengan rangka utama bambu. Membutuhkan waktu lama, prosesnya pun diawali dengan membuat jari-jari dari bambu. Setelah dirangkai dan diikat dengan tali, baru ditempel kertas.
Setelah payung jadi, proses berikutnya finishing. Sentuhan hiasan berupa lukisan diberikan. Motifnya pun beragam dengan acuan bunga, daun, bahkan hewan. “Warna dan corak yang ditawarkan memang jadi daya tarik tersendiri. Karya warisan leluhur tersebut tentu harus dilestarikan. Sebab, nilainya sangat tinggi. Setelah datang ke festival ini, kami berharap para milenial juga mau melestarikannya,” kata Rizki.
Sedangkan sejarah panjang dimiliki industri payung tradisional Banyumas. Payung pun diperkirakan sudah berkembang sejak 1838 Masehi. Atau, bersamaan dengan pembangunan Pabrik Gula Kalibagor. Kalibagor pun menjadi salah satu sentranya dengan basic payung kertas. Varian dari payung kertasnya terbagi menjadi Prah dan Menuran.
Payung tersebut pun memiliki fungsi khusus. Payung Menuran biasanya digunakan sebagai peneduh bagi orang meninggal saat dihantar ke pemakaman. Adapun, varian Payung Prah digunakan sebagai batu nisannya. Dieksplorasi lebih luas lagi, payung kertas milik Banyumas juga dikembangkan untuk mendukung sebuah seni pertunjukan. Karya-karya tersebut familiar sebagai Payung Kertas Kalibagoran.
“Untuk menikmati beragam keindahan payung tradisi nusantara ini cukup datang ke Festival Payung Indonesia 2019. Beragamnya jenis payung dengan nilai filosofinya tentu akan menambah jumlah koleksi. Ukurannya juga sangat beragam, mulai dari mini hingga besar,” jelas Ketua Tim Pelaksana Calendar of Event Kemenpar Esthy Reko Astuty.
Keunikan lain pun ditawarkan payung tradisi khas Klungkung, Bali. Ada beragam fungsi dari payung yang ditawarkannya. Sebut saja sebagai pendukung upacara adat, pernikahan, dekorasi, juga souvenir. Coraknya pun lebih beragam lengkap dengan ornamen detailnya yang artistik. Pun demikian dengan payung tradisi khas Sawahlunto.
Mengedepankan konsep kertas, payungnya lebih eksploratif. Terlihat artistik, payung tradisi tersebut memiliki bagian dengan lubang-lubang khusus. Lalu, ujungnya dibuat meruncing. Meski lekat dengan warna tradisional, Festival Payung Indonesia 2019 tetap memberi slot bagi warna lain. Sebut saja, Payung Pararupa, Rajut & Kain Perca, Kreasi Kampar, Lontar, juga Batik Tegal.
“Payung tradisi menjadi sebuah elemen yang berharga. Kekayaan dan identitas sebuah destinasi bahkan bisa dilihat dari hasil karya ini. Menyatukan beragam unsur budaya daerah, keindahan payung tradisi ini layak dieksplorasi. Harapannya, wisatawan tertarik dan mau mengembangkan di daerahnya masing-masing,” tutup Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang menjadi Menpar Terbaik ASEAN.
(*)