Liputan6.com, Jakarta - Seni pertunjukan, seperti tari dan teater, termasuk sektor yang paling terdampak pandemi corona COVID-19, yang memaksa para seniman dan ekosistem di dalamnya melakukan refleksi dan beradaptasi demi tetap memproduksi karya. Di masa pandemi yang sudah hampir setahun melanda Indonesia, banyak pameran atau pertunjukan seni yang terpaksa tertunda.
Seni pertunjukan nusantara yang selama ini memang sudah kurang peminat sepertinya semakin terpuruk, dan mungkin nasib mereka di ujung tanduk di masa pandemi ini.
"Teater Koma sudah setahun lebih tidak manggung. Mestinya tahun kemarin kita tampil dengan lakon Sampek Engtay tapi diundur karena pandemi. Tadi sempat mau digelar pas akhir tahun kemarin atau awal tahun ini, tapi tidak jadi juga dan diundur ke bulan Juli. Itu juga kita mesti lihat dulu bagaimana perkembangannya," terang Ratna Riantiarno, penggiat seni, aktris dan salah seorang pendiri Teater Koma pada Liputan6.com, Jumat, 5 Februari 2021.
Advertisement
Baca Juga
"Padahal, tahun lalu itu kita sudah siap pentas, gedungnya sudah disewa di Ciputra Artpreneur, tiket juga sudah terjual 60 persen tapi terpaksa kita batalkan dan diundur waktunya karena situasinya belum memungkinkan. Ya, kita saja yang sudah 44 tahun berdiri dan sering tampil keadaannya jadi seperti ini, apalagi teater atau grup lain yang masih baru atau skalanya masih kecil, mungkin nasibnya lebih memprihatinkan lagi," lanjut istri dari Nano Riantiarno ini.
Tak hanya teater, Ratna menambahkan, seni pertunjukan Indonesia di masa pandemi ini memang sedang terpuruk dan sulit untuk memastikan apakah bisa bangkit lagi.
"Pertunjukan tradisional seperti tari atau pentas kesenian di masa sebelum pandemi saja sulit untuk bertahan karena peminatnya tidak banyak, kalah pamor dari budaya populer atau dari luar negeri. Ditambah lagi dengan situasi pandemi, mereka jadi makin terpuruk," ucap Ratna.
Menurut aktris yang pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini, ia prihatin dengan nasib pekerja seni yang serba tak menentu. Tak hanya para pemain atau mereka yang berkiprah di bidang kreatif, tapi para kru yang biasanya bekerja saat ada pementasan.
"Buat memenuhi kebutuhan, setahu saya banyak dari mereka yang alih profesi atau bekerja di bidang lain. Ada yang jualan makanan, buka usaha lainnya atau kerja di ojek online. Ya kita tdak tahu bagaimana kalau situasi sudah berangsur membaik, apakah mereka akan kembali ke dunia seni atau tidak," ujar Ratna.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Apakah Penonton akan Kembali Datang?
"Mengandalkan hidup dari teater memang agak sulit. Kita di Teater Koma juga banyak yang punya pekerjaan lain. Kalau saya main film dan pernah di program televisi juga. Kalau Mas Nano kan pernah kerja di media juga," tambahnya.
Ia juga belum tahu pasti apakah nanti penonton akan kembali datang karena selama ini sudah dimanjakan dengan kemajuan teknologi sehingga duduk dengan tenang di rumah menyaksikan acara-acara seni lewat ponsel, komputer atau televisi dengan sambungan internet. Biaya untuk membeli tiket dan ongkos untuk pergi ke tempat pementasan bisa dialihkan untuk membeli pulsa atau kuota internet.
Karena itu, Ratna dan sejumlah seniman lain menilai pementasan secara virtual tak bisa sepenuhnya membantu karena tetap butuh persiapan dan biaya yang tidak sedikit kalau memang ingin digarap dengan lebih serius. Mencari sponsor pun juga tidak mudah. Ditambah lagi durasi pementasan teater yang biasanya memakan waktu sekitar dua jam, sulit untuk membuat penonton betah berlama-lama untuk menyaksikan secara virtual. Lalu, apa solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah ini?
"Tentunya, kita berharap pemerintah ikut turun tangan, seperti memberi insentif pada para pekerja seni. Selain itu,proses vaksinasi bisa lebih dipercepat dan mungkin ada upaya lain dari Kemendikbud misalnya untuk mencari jalan keluarnya," kata Ratna.
Namun, ia mengakui itu bukan hal yang mudah. Untuk proses vaksinasi misalnya, perlu waktu lama karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak.
"Kita juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Kemendikbud saja sudah cukup pusing memikirkan soal pendidikan. Belum lagi mengurus penduduk kita yang banyak, beda dengan Singapura, misalnya, yang penduduknya jauh lebih sedikit. Permasalahan kita cukup kompleks," ujarnya. Ratna pun berharap pandemi bisa segera berlalu sehingga dunia kesenian Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan.
Advertisement
Fokus dengan Pekerjaan Lain
Hampir senada dengan teater, seni pertunjujan dalam skala yang lebih kecil juga sedang terpuruk. Hal itu diakui oleh Ahmad Hanafi, salah seorang satu pegiat budaya Betawi dan pengelola Sanggar Si Jampang yang merupakan sanggar lenong dan pencak silat di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat,
Menurut pria yang akrab disapa Bang Ifan inid, dari segi peminat kesenian tradisional yang mereka usung sudah sangat berkurang. Ditambah lagi terjadi pandemi yang membuat panggung pertunjukan semakin sepi.
"Ya sekarang ini jarang atau bahkan hampir nggak ada orang yang bikin pertunjukan karena kan nggak boleh ada kerumunan. Biasanya kita masih sering tampil kalau ada acara pernikahan, misalnya dengan grup silat dan palang pintu. Tapi sekarang kan susah, nggak ada yang berani ngundang kita," ungkap Ifan pada Liputan6.com, Jumat, 5 Februari 2021.
Ifan juga mengakui anggota sanggarnya punya pekerjaan lain yang penghasilannya lebih menjanjikan, sehingga di masa pandemi ini mereka lebih fokus dengan pekerjaan masing-masing.
"Tapi kita tetap komunikasi dan kadang kumpul-kumpul beberapa orang, ya mereka kangen juga bikin pentas atau tampil lagi. Ada juga yang pernah ngundang kita tapi tempatnya luas dan terbuka jadi kita bisa tampil. Ya mudah-mudahan aja pandemi ini cepat pergi biar kita bisa tampil lagi dan kesenian tradisional kita nggak dilupakan," harap Ifan.
Pentas tari juga termasuk seni pertunjukan yang sangat terdampak oleh pandemi. Meski begitu, Diah Kusumawardhani, tak mau menyerah begitu saja. Pendiri Yayasan Belantara Budaya Indonesia ini biasanya mengadakan kegiatan les tari tiap akhir pekan di beberapa tempat di Jakarta yang diikuti banyak peserta.
Kelas Virtual
Namun sejak terjadi pandemi, kegiatan tersebut harus berhenti untuk sementara. Diah pun cepat beralih ke media virtual. Kelas menari tari-tarian tradisional Indonesia kembali digelar tapi secara virtual.
"Sambutannya ternyata cukup bagus. Mereka yang biasa ikut latihan juga ikutan, bahkan pesertanya bisa lebih banyak karena jangkauannya kan jadi lebih luas. Buat penyemangat kita sediakan hadiah buat beberapa orang yang dianggap terbaik dengan mengirimkan video tarian mereka," jelas Diah pada Liputan6.com, Kamis, 4 Februari 2021.
Diah merasa bersyukur karena antusiasme untuk belajar menari tetap tinggi. Ia juga mendapat dukungan dari sejumlah pihak, termasuk mereka yang memberikan barang-barang untuk dijadikan hadiah, mulai dari kain tradisional sampai laptop. Meski begitu, ia mengakui belajar dengan pertemuan tatap muka tetap jauh lebih baik dan berkesan. Untuk itu ia berencana untuk menampilkan beberapa peserta untuk datang langsung bersama instruktur atau pengajar, tapi tetap ditampilkan secara virtual.
"Ini baru wacana, kita harus lihat situasi dan perkembangannya. Kita juga perhitungkan dulu berapa orang yang bisa hadir dan tempatnya juga harus pas karena mesti menjalankan protokol kesehatan," kata Diah. Selain itu, di masa pandemi ini sulit untuk mengadakan pementasan atau tampil di acara kesenian lainnya yang menampilkan tari-tarian.
"Makanya para pengajar tari kita juga punya profesi lain, ada yang punya usaha dan ada juga yang dokter. Menggantungkan hidup sepenuhnya dari seni apalagi di saat ini memang agak sulit ya. Tapi kita tetap optimis, apalagi banyak orang punya passion besar di bidang seni, meski profesi utamanya bukan seniman. Itu yang bikin kita tetap bersemangat," pungkas Diah.
Advertisement