Jawara dan Kiai di Ranah Banten

Jawara selalu berpegang pada falsafah, seorang kesatria tidak akan pernah mendahului memukul namun juga jangan sampai terkena pukulan lawan

oleh Liputan6 diperbarui 14 Jul 2014, 03:21 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2014, 03:21 WIB
Darah, Golok dan Tasbih | eps.2 (3)
(Liputan6 TV)

Liputan6.com, Banten - Pekat dan sunyi kembali datang meretas. Syair illahiah terus mengalir memecah hening Kampung Kadu Jami, Pulosari, Pandeglang, Banten. Mengaji sebuah keharusan bagi keluarga Kadu Jami, itulah bekal utama mengarungi kehidupan.

Seperti ditayangkan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (13/7/2014), Maulid menjadi istimewa di kampung tersebut. Kelahiran Nabi Muhammad  SAW momentum penting membersihkan raga dan batin dalam tradisi keceran urutan.

Kelidan atau uji kanuragan silat tangan kosong menjadi pembuka. Uji kanuragan dijadikan ajang berlatih berikut silaturahmi antarperguruan. Tujuannya 1, melakukan ruwatan, menyamakan pemahaman, sekaligus menyusun strategi menempa kanuragan. Bersatunya air dan doa sangat penting dalam tradisi ini.

Keceran tujuannya penglihatan menjadi tajam, aji rasa dan penglihatan yang suci jeli membaca gerakan musuh, kuat dari terpaan benda tumpul maupun tajam dengan batin yang terasah.

Bagi jawara, golok bukan sekadar senjata. Jurus golok banteng malang menjadi cermin. Jawara selalu berpegang pada falsafah. Seorang kesatria tidak akan pernah mendahului memukul namun juga jangan sampai terkena pukulan lawan.

Kedigdayaan yang bersandar pada ngelmu konon Banten telah mengenalnya jauh sebelum agama hadir di Pulau Jawa. Dengan mantra beserta ritusnya. Ketika hindu hadir, kebiasaan ngelmu tak serta merta hilang. Paguron atau padepokan tempat menempa kanuragan menjadi ladang ngelmu.

Saat Islam masuk, kiai adalah penggenggam ilmu sekaligus ngelmu dan jawara tumbuh dari didikan kiai. Berbekal ilmu, kiai memimpin upacara keagamaan, ritual adat hingga menjadi tempat rujukan dalam penyelesaian berbagai persoalan.

Pengaruh kiai tak mengenal batas geografis. Sebuah naskah kuno menyingkap, jawara sejatinya benteng kiai. Bahkan beberapa kali kiai menjadi garda terdepan kepemimpinan di Banten.

Jejak penyebaran Islam di tanah Banten lebih 5 abad lampau, sejak Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung Jati mendarat. Islam kemudian menjelma menjadi nadi tanah magis di ujung barat Pulau Jawa ini. Sisa Keraton Surosowan dan Istana Kaibon menggambarkan kebesaran Kesultanan Banten. Kawasan seluas 4 hektare juga menjadi saksi peradaban kala itu.

Zaman berganti, panggung jawara pun berganti. Kemampuan menghimpun kekuatan diri membuat jawara menguasai sektor perekonomian. Jawara menjelma menjadi sebuah kekuatan.

Suraka salah satunya. Sejumlah tempat di Jakarta pernah dikuasainya. Sejarah mencatat, kiai dan jawara dahulu satu. Tak hanya menguasai agama, ia pun mumpuni dalam ilmu kebatinan dan kedigdayaan. Kiai dan jawara tak akan pernah mati di ranah Banten, setiap hari tumbuh penggenggam ilmu dan ngelmu.

Saksikan perjalanan Tim Potret selengkapnya dalam tautan video di bawah ini. (Ado)

Baca juga:

Dakwah Wayang Kulit Sunan Kalijaga

Kota Tua, Kota Warisan Dunia

[VIDEO] Kalang Kabut Asap Riau

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya