Calon Ketua Umum Golkar Ini Bercita-cita Ubah Sistem Pemilu

Sistem pemilu saat ini, menurut Airlangga Hartarto seperti pasar bebas. Di mana kekuatan modal yang menang.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 19 Apr 2016, 12:24 WIB
Diterbitkan 19 Apr 2016, 12:24 WIB
20160301-Airlangga Hartarto Maju Sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar-Jakarta
Airlangga Hartarto memberikan keterangan saat deklarasi pencalonan sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar di Jakarta, Selasa (1/3/2016). Airlangga mengusung tujuh misi yang dinamakan Eka Sapta Dalam Eka Trio. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Calon Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bercita-cita mengubah sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Sebab, menurut dia, sistem pemilu saat ini sangat tidak adil karena pertarungan yang sangat terbuka dan dilepas ke pasar bebas, sehingga hanya mengandalkan kekuatan modal.

Akibatnya, lanjut dia, hanya yang populer dan memiliki modal yang akan menang. Sementara yang hanya bermodal ide, pemikiran dan militansi, baik untuk partai maupun negara akan tersingkir.

"Sistem sekarang sangat tidak adil. Kita tidak bisa membiarkan terus seperti ini," ungkap Airlangga pada keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (19/4/2016).

Bahkan, kata dia, jika terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar akan mendorong sistem pemilu campuran antara sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Dirinya meyakini sistem campuran itu akan memberikan keadilan.

"Sebagaimana diketahui sistem proposional terbuka menggunakan suara terbanyak. Artinya, yang lolos menjadi anggota parlemen adalah yang memiliki suara terbanyak pada saat pemilu, sedangkan proposional tertutup adalah pemilu berdasarkan nomor urut," papar Airlangga.

Menurut dia, yang menempati nomor urut 1 atau 2 itu punya peluang besar terpilih dalam pemilu. Sementara, penentuan nomor urut ditentukan oleh partai politik.

Sistem ini pernah dilakukan pada pemilu 1999 dan 2004 namun dihentikan pada pemilu 2009 karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemilu memakai sistem proposional terbuka atau suara terbanyak.

"Ke depan, agak sulit untuk kembali ke proporsional tertutup karena sudah dibatalkan oleh MK. Namun, jika tetap memakai sistem proposional terbuka maka pengalaman Pemilu 2009 dan 2014 akan terulang kembali yaitu pertarungan menjadi sangat bebas dan tak terkendali," kata dia.

Anggota Komisi XI DPR juga mengatakan bahwa  negara yang berhasil menjalakkan sistem kombinasi itu saat ini adalah Jerman dan New Zealand.

"Kalau Jerman dan New Zealand berhasil, kenapa kita tidak. Kita harus pakai sistem itu supaya tidak hanya yang kompeten dan modal besar yang terpilih, tetapi juga modal terbatas tetapi aktif di politik. Kita ingin cari format yang sesuai dengan budaya kita yaitu musyawarah. Sistem kombinasi menjadi jawabannya," tutur Airlangga.

Selain itu, kata dia, dengan sistem campuran juga diperlukan untuk memperbanyak kader perempuan di parlemen. Saat ini, kuota untuk perempuan memang sudah mencapai 30 persen, tetapi keterpilihannya sangat rendah karena memakai sistem terbuka yang mengandalkan uang. Sementara tokoh perempuan yang idealis tetapi tidak punya modal, jarang terpilih.

"Sistem itu pernah dibahas di DPR tetapi mungkin tidak matang. Makanya tidak dilanjutkan. Kita harus memulai lagi supaya tidak seperti pasar bebas," tandas Airlangga.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya