Dua Penyuap Pejabat Bakamla Dituntut Hukuman Ringan, Mengapa?

Tuntutan ini terbilang rendah dibandingkan tuntutan Jaksa KPK kepada pelaku tindak pidana korupsi lain.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 05 Mei 2017, 13:35 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2017, 13:35 WIB
20161220-Adami-Okta-HA1
Penyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Muhammad Adami Okta (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Jakarta - Dua penyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).

Tuntutan ini terbilang rendah dibandingkan tuntutan Jaksa KPK kepada pelaku tindak pidana korupsi lain. Rupanya, tuntutan rendah terhadap kedua terdakwa tersebut karena mereka mau bekerjasama dengan KPK dalam mengungkap kasus korupsi proyek pengadaan satelit monitor di Bakamla.

"Terdakwa telah ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dalam tindak pidana korupsi atau justice collaborator (JC) berdasarkan keputusan pimpinan KPK," ujar Jaksa KPK di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (5/5/2017).

Seperti yang sudah dijanjikan, setiap tersangka yang mengajukan diri sebagai JC akan diberikan keringanan hukum oleh pihak KPK. Selain karena kedua terdakwa adalah JC, keduanya dinilai koperatif dalam sidang, mengakui perbuatan dan belum pernah dihukum.

Hal yang memberatkan adalah, Adami dan Hardy dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi kolusi dan nepotisme.

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara dua tahun denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan kepada Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.

Permintaan Jaksa KPK tersebut karena Adami dan Hardy dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama dengan Fahmi Darmawansyah. Mereka dinyatakan telah menyuap sejumlah uang kepada pejabat di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Pemberian uang itu untuk pemenangan PT Melati Technofo milik Fahmi Darmawansyah dalam tender proyek pengadaan satelit monitor di Bakamla. Adami dan Hardy merupakan pegawai di perusahaan milik suami Inneke Koesherawati.

"Adami dan Hardy secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Bos PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Dharmawansyah, dengan memberikan sejumlah uang kepada pejabat di Bakamla," ujar Jaksa.

Adapun sejumlah uang yang diberikan oleh Adami dan Hardy kepada pejabat Bakamla senilai SGD 209.5 ribu, USD 78.5 ribu dan Rp 120 juta. Suap diberikan masing-masing kepada Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja sama Bakamla Eko Susilo Hadi sebesar SGD 105 ribu, USD 88.5 ribu, dan Euro 10 ribu.

Sedangkan Bambang Udoyo selaku Direktur Data dan Informasi menerima sebesar SGD 105 ribu. Kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasan, Adami dan hardy menyuap sebesar SGD 104.5 ribu dan kepada Kepala Subbagian Tata Usaha Sekretaris Utama Tri Nanda Wicaksono sebesar Rp120 juta.

Adami dan Hardy dianggap jaksa KPK terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b UU 31/1999 sebagaimana telah diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan kedua.

Setelah mendengarkan tuntutan dari jaksa KPK, majelis hakim meminta tanggapan Adami dan Hardy terkait pengajuan nota pembelaan atau pleidoi. Kedua terdakwa suap kepada pejabat Bakamla itu pun menyerahkan pleidoi kepada penasihat hukumnya.

Majelis hakim memutuskan sidang bakal dilanjutkan kembali pada Senin (15/5), dengan agenda pembacaan pleidoi. Majelis meminta penasihat hukum Adami dan Hardy mempersiapkan pleidoinya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya