Liputan6.com, Jakarta - Dengan raut wajahnya gembira, tanpa gugup, orang-orang itu melangkahkan kakinya ke bilik suara saat mengikuti simulasi pemungutan suara Pemilu 2019 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mereka adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun, hak pilih para penyandang disabilitas mental itu kini menjadi perdebatan. Ada yang pro, tapi tak sedikit juga yang kontra.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ODGJ adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas mental.
Advertisement
Menurut Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti, dua payung hukum itu memberikan perlindungan terhadap hak-hak ODGJ. Termasuk hak berpartisipasi dalam politik. Sebagai pemilih.
"Ada banyak konvensi maupun aturan yang mengakomodir hak politik penyandang disabilitas mental untuk memilih dalam pemilu," kata Yeni saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (9/4/2019).
Secara filosofis, jelas Yeni, semua manusia termasuk penyandang disabilitas mental mempunyai hak asasi yang sama. Salah satunya adalah hak politik untuk memilih.Â
Secara yuridis, ODGJ termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama sesuai Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."Â
"Dalam UU Pemilu juga tak ada pasal yang melarang penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak pilihnya," imbuh Yeni.
Salain itu, Pasal 75 ayat 1 UU Penyandang Disabilitas juga menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik, secara langsung atau melalui perwakilan.
Pasal 77 menyatakan, pemerintah dan pemda wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain, termasuk: (a) berpartisipasi lansung untuk ikut dalam kegaitan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; (b) mendapat hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lainnya.
Kemudian, dalam Pasal 148 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009Â tentang Kesehatan, penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir).
Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.
Yeni mengungkap, sejak 2014 pihaknya telah melakukan advokasi untuk memperjuangkan hak penyandang disabilitas dapat memilih dalam pemilu berdasarkan payung hukum tersebut. Perjuangan gerakan disabilitas ini membuahkan hasil saat KPU mulai mendaftarkan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu 2014.
Selanjutnya, berdasarkan surat Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, KPU melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental untuk Pemilu 2019.
"Tapi sayang, hak pilih mereka (ODGJ) kini jadi gorengan politik. Kalau mau menggoreng jangan mengorbankan hak orang lain, apa lagi hak orang marjinal ini. Sama sekali tidak bermoral. Itu melanggar semua undang-undang yang ada," Yeni menegaskan.
Terpisah, Komisioner KPU Hasyim Ashari menjelaskan, penyandang disabilitas mental didaftarkan sebagai pemilih karena merupakan bagian dari warga negara. Namun, karena memilih merupakan bagian dari tindakan hukum, maka pemilih itu harus cakap secara hukum.
"Jadi penggunaan hak pilih (penyandang disabilitas mental), harus mendapatkan surat keterangan dari dokter," ujar Hasyim kepada Liputan6.com.
Hal itu sesuai dengan Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPUÂ Nomor 11Â Tahun 2018 yang berbunyi, "Pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter."
Dalam Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga disebutkan, penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Kekhawatiran
Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, sebagai mantan anggota panitia kerja (panja) RUUÂ Penyandang Disabilitas, menyatakan, hak pilih orang dengan gangguan jiwa dalam Pemilu 2019 tak perlu diperdebatkan. Karena mereka juga memiliki hak yang sama sebagaimana aturan yang berlaku.
"Tak perlu diperdebatkan, satu hal yang bisa dipastikan adalah jika ada penyandang disabilitas mental membutuhkan pendampingan, itu adalah hak mereka, tanggung jawab negara untuk hadir. Satu yang penting juga, jangan sampai semua dinyatakan sama, semua gila itu tidak benar," kata Sara kepada Liputan6.com.
Meski begitu, juru bicara di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ini mengungkap kekhawatiran adanya penyalahgunaan hak suara para penyandang disabilitas mental ini dalam Pemilu 2019.
"Yang ditakuti itu prosesnya bagaimana bisa memastikan keputusannya (memilih) jalan tanpa intervensi dari orang lain dan suara mereka tidak disalahgunakan," ujar Sara.
Kekhawatiran lain yang muncul di media sosial, yakni kehadiran ODGJ dapat menganggu jalannya Pemilu 2019 di TPS. Namun, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eka Viora menilai, kekhawatiran itu tidak tepat.
"Dan, sangat tidak beralasan terkait mengingat tingkat keberbahayaan ODGJ dengan masyarakat lain pada umumnya. Nah, justru saat ini lebih banyak orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan," ungkap Eka saat dihubungi Liputan6.com.
Ada juga kekhawatiran ODGJ untuk mudah diarahkan memilih calon pasangan tertentu. Kekhawatiran tersebut, menurut dia, juga tidak beralasan.
"Hak pilih kan bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), jujur, dan adil (Jurdil). Untuk ODGJ yang mampu ikut nyoblos itu artinya dia sudah tahu dan paham, bagaimana dan apa alasannya nyoblos. Bukan berarti pilihan suara ODGJ bisa diarahkan," ujar Eka.
Kini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sedang gencar menyosialisasikan soal hak pilih Pemilu 2019 ini ke rumah sakit. Di rumah sakit, petugas akan mendatangi langsung ODGJ.
"ODGJ-nya ditanya tentang Pemilu 2019. Dari situ kelihatan, apakah dia bisa paham dan bersedia memberikan hak suara. Kan ada juga yang bilang, 'Ngapain sih ikut begitu-begituan (nyoblos)'. Jadi, memang tergantung ODGJ yang bersangkutan," tambahnya.
Jika ada ODGJ yang mau ikut nyoblos Pemilu 2019 nanti, maka akan difasilitasi. Pihak rumah sakit atau panti akan menyediakan kotak suara di tempat perawatan sehingga ODGJ tidak perlu jauh-jauh menyoblos di lokasi asal tempat tinggalnya.
"Kalau ODGJ yang ada di masyarakat (bukan dari rumah sakit, panti) tetap dibantu juga buat didampingi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) setempat," ungkap Eka.
Â
Advertisement
3.500 Pemilih dengan Gangguan Jiwa
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memperkirakan, lebih dari 3.500 orang dengan disabilitas mental terdaftar dalam daftar pemilih Pemilu 2019. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan jumlah orang dengan gangguan jiwa yang ada di Indonesia yaitu lebih dari 500.000 (Riskesdas 2018).
Menurut Ketua PDSKJI Eka Viora, ODGJ juga punya hak pilih yang sama seperti halnya warga negara. Hak pilih ODGJ sudah tercantum dalam hak asasi manusia pada orang dengan disabilitas seperti yang telah dijamin oleh Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan berbagai peraturan perundangan lainnya.
"Orang dengan gangguan jiwa memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara lainnya. Ini terkait aspek yuridis yang melekat sebagai hak asasi manusia (aspek filosofis)," kata Eka.
Kesempatan memberikan suara hak pilih bagi ODGJ di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1955. Ada beberapa regulasi yang berlaku di Indonesia soal hak suara ODGJ. Di antaranya Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab 9, Pasal 43 ayat 1 dan 2, lalu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 148.
Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2018 yang terkait Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum--menghilangkan 2 pasal dalam PKPU no 11 tahun 2018.
"Ada pasal 3 ayat 2 poin C menyatakan pemilih sedang tidak terganggu jiwanya, serta pasal 3 ayat 4 yang mengharuskan orang dengan gangguan jiwa membawa surat keterangan dokter untuk bisa memilih," papar Eka.
Selain itu, regulasi lain meliputi Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab 9, Pasal 43 ayat 1 dan 2; dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 148.