Politikus Golkar Tarik Diri Sebagai Pengusul RUU Ketahanan Keluarga

Endang menyebut, yang menjadi alasannya ikut mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga ini karena tingginya masalah kekerasan seksual, narkoba, sampai miras.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Feb 2020, 22:25 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 22:25 WIB
Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Fraksi Golkar Endang Maria menarik diri sebagai pengusul RUU Ketahanan Keluarga. Endang mengakui RUU itu hanya usulan pribadi dirinya tanpa membawa nama Fraksi Golkar.

"Sebetulnya itu usulan pribadi dan memang sudah ditarik," ujar Endang kepada wartawan, Kamis (20/2/2020).

Endang menyebut, yang menjadi alasannya ikut mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga ini karena tingginya masalah kekerasan seksual, narkoba, sampai miras. Hingga kasus pemerkosaan anak-anak terhadap balita.

"Perilaku anak-anak SD, SMP, SLTA yang sudah mengarah ke seks bebas dan tiba-tiba anak SMP melahirkan tanpa dia tahu sudah hamil. Itu sangat memprihatinkan pribadi saya," ucap dia.

Dia mengatakan, saat rapat dengan Kementerian Agama dan Kementerian PPA, belum ada perkembangan signifikan. Sehingga perlu solusi pencegahan dari keluarga.

"Kita berharap solusi utamanya pencegahan yang paling baik harus dari keluarga. Jika keluarga rapuh, yang terjadu seperti saya uraikan di atas," kata Endang.

Dia juga menyinggung visi misi presiden terkait SDM unggul dan revolusi mental. Kata dia, dua hal itu tercapai dengan diawali dari keluarga.

"SDM unggul harus diawali dari keluarga dan bagaimana keluarga tidak rapuh. Itu sebagai PRnya," kata Endang.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Usulan RUU Ketahanan Keluarga

Gedung DPR
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Lima anggota DPR lintas fraksi mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Mereka adalah Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher (PAN).

Anggota DPR Fraksi Gerindra Sodik Mujahid menjelaskan, semangat RUU tersebut adalah untuk perlindungan keluarga, dan ketahanan keluarga yang berkualitas. Isi RUU tersebut memang banyak membawa mulai dari pernikahan, kehidupan berkeluarga, hak asuh, dan sebagainya.

"Sedang dibahas di Baleg. Pendekatannya yaitu perlindungan keluarga, ketahanan keluarga, keluarga yang berkualitas," ujar Sodik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Beberapa pasal menjadi sorotan. Misalnya, mengatur kewajiban istri. Pada pasal 25, disebutkan istri memiliki tiga kewajiban; a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada RUU tersebut, juga terdapat larangan jual beli sperma dan larangan mendonor atau menerima donor sperma. Diatur dalam pasal 31 dan diatur juga pidananya dalam pasal 139 dan 140.

Pada pasal 32, diatur pelarangan surogasi untuk memperoleh keturunan. Bahkan dikenakan pidana pada pasal 141 dan 142.

RUU ini juga mengatur seksualitas. Pada pasal 86, 87 dan 88 diatur keluarga dapat melaporkan penyimpangan seksual dan harus direhabilitasi. Penyimpangan seksual itu dijelaskan berupa, sadisme, masokisme, homosex dan incest.

RUU ini juga mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi keluarga dari ancaman fisik dan non fisik seusai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundangan. Salah satu ancaman non fisik itu adalah propaganda LGBT.

Sodik berkilah RUU tersebut tidak mengatur hubungan privasi warga negara. Dia menyebut, misalnya homoseksual itu dianggap mengganggu masa depan umat manusia dalam basis keluarga.

"Maka selain diatur di UU lain, keluarga sebagai basic segalanya harus dilindungi. Sekali lagi keluarga adalah lembaga dasar. Semua etika moral perilaku dimulai dari keluarga. Kita harus menguatkan keluarga. Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu (homoseksual).

Dia menjelaskan, hal demikian dinilai bertentangan dengan budaya Pancasila. Dia berdalih poin ini yang membedakan cara pandang Indonesia terhadap LGBT dengan negara barat.

"Dengan pendekatan normatif apakah bertentangan dengan budaya Pancasila? Dari dulu kan selalu didebatkan. Mohon maaf saya kira Pancasila berbeda mana ukuran-ukuran privacy dan bangsa. Mungkin di negara barat dianggap urusan pribadi. Tapi ketika masuk pancasila tidak pribadi lagi," ucapnya.

 

 

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya