Liputan6.com, Jakarta Buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terkait pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra tak kunjung tertangkap usai bebas berkeliaran ke luar maupun masuk ke Indonesia. Indonesian Corruption Watch (ICW) pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan.
Menurut ICW, BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut.
"Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan, karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Advertisement
Dia mengatakan, bebasnya Djoko Tjandra masuk ke Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membuktikan instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal.
"Presiden Joko Widodo segera memberhentikan Kepala BIN, Budi Gunawan, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum," ucap Kurnia.
Kurnia pun membandingkan pengalaman BIN sebelummya yang sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 lalu dan Samadikun Hartono di China pada 2016.
"Berbeda dengan kondisi saat ini. Praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," kata Kurnia soal kinerja BIN dan kaitannya dengan Djoko Tjandra.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
40 Koruptor Masih Buron
Kurnia menuturkan, berdasarkan catatan ICW sejak 1996 hingga 2020 terdapat 40 koruptor yang masih buron. Dia menjabarkan, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain: Kejaksaan (21 orang), Kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).
Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor diantaranya, New Guinea, China, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.
Dia mengatakan, nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun terbilang fantastis, yakni sebesar Rp 55,8 triliun dan USD $ 105,5 juta.
Kurnia mengingatkan, bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara telah mendefinisikan bentuk ancaman yang menjadi tanggung jawab kelembagaan BIN. Salah satunya adalah terkait ekonomi nasional, sehingga mendeteksi keberadaan buronan kasus korupsi dan menginformasikan kepada penegak hukum merupakan satu dari rangkaian tugas lembaga intelejen tersebut.
Terlebih lagi, Pasal 2 huruf d jo Pasal 10 ayat (1) UU a quo juga menjelaskan perihal koordinasi dan fungsi intelejen dalam negeri dan luar negeri. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pencarian serta sirkulasi informasi dari BIN belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Dia kemudian merujuk pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2020, negara memberikan alokasi anggaran kepada BIN sebesar Rp 7,4 triliun yang mana Rp 2 triliun diantaranya digunakan untuk operasi intelijen luar negeri. Selain itu, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun untuk modernisasi peralatan teknologi intelijen.
"Besarnya anggaran yang diterima dengan masih banyaknya jumlah buronan yang berkeliaran tidak linear dengan kinerja BIN," pungkas Kurnia.
Reporter: Muhammad Genantan
Sumber: Merdeka
Advertisement