Liputan6.com, Yogyakarta - Badai La Nina yang merupakan rangkaian El-Nino Southern Oscilation (ENSO) tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional, tetapi juga kelestarian biodiversitas Indonesia. Dampak cuaca ekstrem ENSO terhadap keanekaragaman hayati tidak dapat dirasakan langsung, tapi perlahan dan pasti.
"Kehilangan biodiversitas dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerusakan tatanan ekosistem yang lebih berat dan menimbulkan kerugian sistemik," ujar Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Budi Setiadi Daryono, pada Kamis, 16 Maret 2017.
Dia menjelaskan, La Nina membawa curah hujan lebih tinggi disertai kenaikan suhu dan kelembaban signfikan yang relatif memberikan ancaman terhadap eksosistem serta dapat menimbulkan seleksi alam.
La Nina akan menciptakan bottleneck effect terhadap spesies yang memiliki toleransi rendah alias rentan terhadap kenaikan suhu akibat tingginya curah hujan dan kelembaban.
Advertisement
Budi mengatakan salah satu hewan yang rentan terhadap kondisi itu adalah penyu hijau. Penentuan jenis kelamin telur penyu hijau (Chelonia mydas L.) dipengaruhi kondisi suhu di sekitar saat pengeramannya.
Misalnya, pada suhu lebih dari 29°C, maka anak penyu biasanya berkelamin betina. Sebaliknya, pada suhu kurang dari 29°C, berkelamin jantan. Pada saat pengeraman, apabila suhu lingkungan lebih dari 33°C maka dapat menimbulkan kematian bagi embrio penyu.
Baca Juga
Di Yogyakarta, anomali cuaca yang memicu kemarau basah ternyata berdampak kepada pendaratan penyu di Pantai Selatan Jawa. Jumlahnya berkurang drastis sejak dua tahun lalu dan hal ini memicu kelangkaan satwa yang dilindungi tersebut.
Data yang dihimpun dari Komunitas Banyu, sebuah perkumpulan yang bergerak di penangkaran dan perlindungan penyu di pantai Selatan DIY, menunjukkan jumlah pendaratan penyu di Pantai Gua Cemara Bantul pada 2014 sebanyak 28 kali yang ditunjukkan dengan ada 28 sarang. Setiap sarang berisi 50-100 butir telur penyu. Pada 2015 hanya terdapat delapan sarang dan tahun ini ada 10 sarang.
"Pendaratan biasanya dilakukan pada musim panas, berkisar Apil sampai Agustus," ujar Yhanu Suryo Asmoro, Koordinator Relawan Banyu kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Perubahan cuaca membuat penyu tidak bisa melakukan pendaratan seperti biasanya. Apabila hal itu terus berlangsung, ada kemungkinan penyu melepaskan telurnya di laut dan itu berarti tidak ada telur yang menetas dan perkembangbiakan gagal.
Waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur penyu sekitar 45-55 hari. Setelah itu tukik dipelihara paling lama seminggu sebelum dilepasliarkan di laut. Saat dilepasliarkan, mereka sudah tidak bisa dipantau kehidupannya. Biasanya hanya sekitar 1-2 persen dari jumlah tukik yang dilepasliarkan yang berhasil selamat dan melanjutkan hidup. Sisanya, habis dimakan predator.
Ulah Manusia
Budi melanjutkan salah satu penyebab perubahan iklim yang berdampak pada anomali cuaca juga karena ulah manusia. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk melakukan penanganan secara serius terhadap fenomena cuaca akibat badai La Nina ini. Sebab, bukan cuma hewan, dampak perubahan iklim juga mengancam ketahanan pangan secara nasional.
"Jadi pemerintah bersama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Usaha Logistis diharapkan dapat berperan aktif memprediksi, menyusun, dan mengeksekusi langkah-langkah mitigasi yang strategis dan tepat meliputi proses penyediaan pangan dari hulu hingga hilir," ucapnya.