Warga Terdampak Reaktivasi Kereta Api Garut Ancam Golput

Akibat tidak adanya lahan pengganti, warga terdampak reaktivasi kereta api Cibatu-Garut ancam golput pada pencoblosan pemilu pada 17 April mendatang.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 07 Mar 2019, 07:02 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2019, 07:02 WIB
Sejumlah petugas PT KAI tengah melakukan pengecekan di stasiun Cibatu, Garut
Sejumlah petugas PT KAI tengah melakukan pengecekan di stasiun Cibatu, Garut (LIputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Warga korban reaktivasi kereta api yang berada di blok stasiun Garut Kota, Garut, Jawa Barat mengancam tidak akan menggunakan hak pilihnya alias golput, pada pemilu 17 April mendatang. Mereka kesal, sebab besaran ganti rugi yang diberikan tidak sesuai harapan.

"Kami sudah sepakat tak akan mencoblos pada Pilpres nanti jika tetap saja tak ada perhatian pemerintah," ujar Euis, salah seorang korban reaktivasi Rabu, 6 Maret 2019.

Kemarahan ibu paruh baya itu bukan tanpa alasan, saat ini lapak jualan yang bergabung dengan tempat tinggal di Pasar Gapensa atau Pasar Mawar Garut itu, mulai diratakan dengan tanah, sementara rencana tempat tinggal baru belum ia dapatkan. 

Menurutnya, besaran uang ganti sebesar Rp 19 juta, tidak sesuai besaran saat pertama kali ia membangun rumah yang ditempatinya saat ini, sebesar Rp 180 juta.

Namun nasi sudah jadi bubur, lahan yang ia tempati saat ini ternyata kembali digunakan pemerintah. "Petugas PT KAI bilang batas akhir sampai beres pemilu (harus dibongkar)," ujarnya.

Akibatnya, ia bersama keluarganya bingung harus bagaimana, bahkan ia mengaku sempat drop sakit hingga sepekan, sejak surat pemberitahuan batas pembongkaran bangunan disampaikan PT KAI. "Jangan asal main bongkar saja, tapi pikirin juga ke mana kami akan pindah," ujar dia kesal.

Para Pedagang Pasrah

Sementara itu, pembongkaran sejumlah bangunan lapak kios yang selama ini ditempati pedagang di Pasar Mawar terus dikebut. Mereka terpaksa melakukan upaya secara sukarela, setelah petugas PT KAI mencabuti kanopi yang menutupi lapak kios mereka selama ini.

Sejak pemberitahuan pengosongan lahan diberikan, rata-rata para pedagang sudah mulai menghentikan aktivitas dagangnya sekitar 10 hari lalu. "Namun lapak saya baru dibongkar lima hari yang lalu," ujar Endang (66), salah seorang pedagang yang biasa jualan di sana.

Ia menyatakan, rata-rata pedagang di Pasar Mawar sudah berlangsung lama, bahkan dirinya mengaku sudah berjualan sejak 2004 atau 15 tahun yang lalu. Namun, sejak ramainya pemberitahuan reaktivasi, akhirnya ia membongkar sendiri lahan milik negara tersebut.

"Sebenarnya peberitahuan secara resmi sih belum ada tapi selama ini sudah banyak yang datang dan meminta kami untuk segera membongkar lapak, akhirnya kami bongkar," ujar dia.

Sumber lain yang enggan disebutkan namanya mengaku akan segera melakukan pembongkaran bangunan rumah yang selama ini dipakai, usai pencoblosan 17 April mendatang. "Sebenarnya kalau pemberitahuan harusnya hari ini (6/3/2019), tapi yang lain sepakat, nanti saja setelah pemilu," ujarnya.

Ia mengaku pasrah dengan upaya itu, terlebih lahan yang digunakannya merupakan lahan negara yang dikelola PT KAI. "Mau bagaimana lagi yang punya mau kembali menggunakan," ujar sumber itu.

Namun, dibanding dengan yang lainnya, ia terbilang mujur, sebab setelah ramai diberitakan ia mengaku telah mendapatkan rumah baru di sekitar daerah Panyingkiran. "Kebetulan dekat juga dengan anak saya," ujar ibu-ibu paruh baya tersebut.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya