Urgensi Revisi Qanun Jinayat di Aceh

Tagar berbunyi revisi Qanun Jinayat sempat beberapa kali muncul di lini media sosial. Ada upaya dari pekerja kemanusiaan yang menghendaki agar dua pasal bermasalah dicabut.

oleh Rino Abonita diperbarui 15 Nov 2022, 02:04 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2022, 18:00 WIB
Boneka Demo Kekerasan seksual Anak
Seseorang meletakkan boneka mainan di halaman gedung Kongres Kolombia untuk memprotes kekerasan seksual terhadap anak di Bogota, Selasa (20/11). Protes ini untuk meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab perlindungan anak-anak. (DANIEL MUNOZ/AFP)

Liputan6.com, Aceh - Wacana revisi Qanun Jinayat mengemuka di Aceh belakangan ini. Dalam advokasi yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat sipil, muncul suara-suara yang menghendaki agar dua pasal dalam aturan setingkat perda itu dicabut.

Alasannya, kedua pasal dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan serta perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pasal yang dimaksud yakni 47 dan 50.

Kedua pasal mengatur hukuman terhadap pelaku pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak. Masing-masing menawarkan tiga alternatif hukuman yang dapat dipilih manasuka oleh hakim.

Pada pasal 47, pelaku pelecehan seksual diancam cambuk paling banyak 90 kali, membayar denda 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan atau setara 7,5 tahun. Sebaliknya, di dalam UU Perlindungan Anak ditegaskan bahwa pelaku diancam penjara paling lama 15 tahun.

Pasal 50 mengancam pelaku pemerkosaan dengan cambuk paling banyak 200 kali, denda 2.000 gram emas murni, atau penjara 200 bulan atau setara 16,6 tahun. Pemerkosaan yang dimaksud di sini harus memiliki unsur kekerasan, paksaan, atau ancaman untuk layak disebut demikian.

Namun, untuk tindak pidana yang sama, UU Perlindungan Anak memakai istilah persetubuhan. Penggunaan istilah ini menyebabkan cakupan tindak pidananya tidak terbatas pada adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi termasuk juga tipu muslihat, kebohongan, atau bujukan untuk melakukan persetubuhan.

Konsekuensinya, anak tetap berstatus sebagai korban di mata hukum sekalipun persetubuhan dilakukan atas dasar kerelaaan. Untuk hukuman, dibandingkan qanun, UU konvensional memberi ancaman yang jauh lebih tinggi yakni penjara hingga 20 tahun.

Selain itu, UU Perlindungan Anak akan menambah hukuman apabila pelaku memiliki hubungan dengan korban. Seperti, ikatan keluarga, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan.

Hal yang sama berlaku apabila pelaku merupakan aparat yang menangani perlindungan anak, dilakukan lebih dari satu orang secara bersama-sama atau residivis. UU juga memperhatikan jumlah korban serta dampak yang ditimbulkan sebagai pertimbangan untuk menambah hukuman tadi.

Hal lain yang juga tidak diatur oleh qanun yakni pidana tambahan untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya. Seperti, pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi, serta pemasangan alat pendeteksi.

Sementara itu, seorang pemerkosa anak yang dihukum cambuk bisa segera kembali pulang ke rumah. Jika pelaku tinggal di komunitas yang sama dengan korban, maka kemungkinan keduanya bertemu sangatlah besar.

Pekerja kemanusiaan melihat ini sebagai jalan yang ampuh untuk menghancurkan mental anak yang sebelumnya sudah porak-poranda oleh pelaku.

Masalah lain yang mendorong organisasi masyarakat sipil menginginkan Qanun Jinayat direvisi ialah tidak diaturnya hak restitusi atau ganti rugi untuk korban. Di sisi lain, qanun juga membebankan pembuktian kepada pihak korban.

Contoh saat hakim meminta pihak korban mengajukan saksi yang melihat kejadian secara langsung. Logika yang sering didepankan oleh pihak Mahkamah Syar'iyah ini terbilang aneh karena sangat tidak mungkin pemerkosaan dilakukan dengan sengaja di depan umum.

Faktor korban yang masih anak-anak juga membuatnya terbatas dalam hal komunikasi. Banyak kasus yang ditemui terkadang keterangan korban berubah-ubah akibat tekanan yang dialaminya.

Keterbatasan ini seringkali menjadi bumerang bagi korban karena beban pembuktian yang dialamatkan kepadanya. Dalam alam Qanun Jinayat, akses keadilan terhadap korban terkesan dipersulit, bahkan sejak awal.

Predator Anak 'Hanya' Dicambuk dengan Rotan

Kekerasan seksual atau pencabulan anak nyaris seluruhnya dilakukan oleh orang terdekat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kekerasan seksual atau pencabulan anak nyaris seluruhnya dilakukan oleh orang terdekat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Dalam webinar yang difasilitasi oleh Flower Aceh, Selasa (2/8/2022), disebut bahwa sepanjang 2016-2019 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh mencapai 1.290 kasus. Angka ini tentu belum termasuk kasus yang tidak terdata.

Webinar serupa terus digalakkan dalam setahun ke belakang, dan jadi bagian dari gerakan advokasi revisi Qanun Jinayah di Aceh.

Sejak kemunculannya, gerakan advokasi revisi qanun sendiri terkesan sepi dari sorotan publik, seakan bergerak di lorong-lorong yang hanya dilewati oleh segelintir orang. Namun, jauh sebelum gerakan ini muncul, Qanun Jinayah sudah menciptakan kontroversi bahkan sejak tahap rancangan.

Danial dalam jurnalnya yang berjudul Qanun Jinayah dan Perlindungan HAM (2012), menuliskan bahwa pro-kontra yang muncul pada waktu itu terbagi 3 model. Pertama, kelompok yang menolak dengan alasan bahwa qanun tersebut bertentangan dengan khitah penegakan HAM.

Kedua, kelompok yang yakin bahwa semua ketentuan di dalam qanun merupakan titah yang bersumberkan Al-Qur'an dan hadis. Terakhir, terdiri dari kelompok orang-orang yang menganjurkan adanya perubahan sejumlah pasal yang dipandang bermasalah saja.

Namun, sungguhpun sempat ada upaya judicial review yang membayangi, rancangan qanun tersebut menghablur jua jadi Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Penegakan syariat melalui qanun ditandai dengan rentetan eksekusi terhadap para terhukum yang dilakukan di atas panggung alun-alun ibu kota atau pelataran masjid, tempat di mana orang-orang bisa menonton para pesakitan tanpa perlu membayar tiket terlebih dahulu. Pemabuk, pejudi, pezina, hingga para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dicambuk di muka umum.

Untuk jarimah kejahatan seksual terhadap anak, apakah pecutan rotan berdiameter 0,75 sampai 1 sentimeter sebanding dengan perbuatan pelaku? Bagaimana perasaan korban atau keluarganya ketika pelaku bebas melenggang kangkung di depan mata setelah merasakan hukuman yang dapat dikatakan hanya berlangsung sesaat.

Sebagai informasi, di dalam beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa kasus kejahatan seksual menyasar anak-anak yang pelakunya berakhir di panggung pencambukan. Salah satunya kasus yang menimpa sejumlah murid sebuah balai pengajian di Aceh Besar pada 2017, di mana pelaku bekerja sebagai asisten di balai tersebut, yang mendapat hukuman cambuk sebanyak 120 kali.

Selanjutnya, 4 terpidana kasus yang sama di Aceh Barat Daya dicambuk sebanyak 70 kali, pada November tahun yang sama. Eksekusi cambuk juga terjadi di masa pagebluk terhadap seorang lelaki yang bekerja di sebuah pesantren dengan jumlah cambukan sebanyak 74 kali setelah dikurangi masa penahanan selama 6 bulan ketika proses penyidikan berlangsung.

Mahkamah Agung sendiri telah menerbitkan surat edaran yang menegaskan pemberlakuan hukuman penjara bagi pelaku. Namun, selagi hakim Mahkamah Syar'iyah masih bisa memilih, segala kemungkinan masih terbuka.

Dampak Krusial bagi Korban

Boneka Demo Kekerasan seksual Anak
Boneka mainan diletakkan di halaman gedung Kongres Kolombia untuk memprotes kekerasan seksual terhadap anak-anak di Bogota, Selasa (20/11). Protes ini untuk mendorong pengaduan kasus pelecehan anak di hadapan pihak berwenang Kolombia (DANIEL MUNOZ/AFP)

Mengingat dampak krusial yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku terhadap para korban bisa menjadi residu dari trauma masa kecil yang berpotensi meledak sewaktu-waktu, praktik hukuman seperti itu agaknya tidak sebanding, demikian yang diembuskan oleh aktivis kemanusiaan.

Tidak sedikit korban bermasalah dengan hukum diakibatkan pelecehan seksual yang pernah dialaminya sewaktu kecil, kendati dampak traumatis setiap korban akan berbeda-beda.

Hyu Sisca dan Clara Monica dalam jurnal mereka berjudul Resilensi Perempuan Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-Kanak (2008), mengutip Kendall-Tackett, Williams, dan Finkelhor (dari Santrock, 2004), menulis bahwa dampak terbesar yang akan terus berlanjut hingga kehidupan dewasa para penyintas adalah ketakutan serta rendahnya harga diri.

Pengalaman mengalami kekerasan seksual di masa anak-anak juga akan berhubungan dengan stress emosional di masa dewasa yang akan menyebabkan, salah satunya, kesulitan menjalin relasi intim dengan orang lain (dari Rice, 1999). Demikian tulis Hyu dan Clara, mengutip Whitffen dan MacIntosh (2005).

Sebagai tambahan, Achi Sudiarti Luhulima, dalam Pemahaman tentang Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan Alternatif Pemecahannya, (2000), menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang berkaitan dengan perkelaminan atau seksualitas dan lebih khusus bagi yang berkaitan dengan seksualitas laki-laki dan perempuan.

Soal kekerasan seksual sendiri, Provinsi Aceh dapat dikatakan berstatus darurat, demikian kata Riswati, Direktur Flower Aceh-sebuah lembaga yang berkonsentrasi dalam pemberdayaan dan penguatan perempuan akar rumput-di salah satu media lokal. Pernyataannya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh otoritas terkait di mana dari 254 kasus yang terjadi pada 2020, 62 di antaranya menyasar anak-anak.

Berkaitan dengan penegakan hukum atas para pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak, Amrina Habibi mengawali jurnalnya yang berjudul Dualisme Penerapan Hukum Kekerasan Seksual terhadap Anak di Provinsi Aceh (2019), dengan menulis secara tersirat bahwa ketentuan pasal yang mengatur hukuman atas pelaku kekerasan seksual terhadap anak di dalam Qanun Aceh No. 6/2014 tentang Jinayat telah menimbulkan dualisme aturan hukum karena di negara ini telah ada Undang-Undang No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA).

Jurnal tersebut menyebut dua versi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia yang telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarlembaga peradilan. Ada Pengadilan Anak di bawah peradilan umum di satu sisi, Mahkamah Syar’iyah di bawah peradilan agama di sisi yang lain.

Kewenangan menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh dua lembaga berbeda ini dapat menimbulkan persoalan bagi korban dalam upaya mencari kepastian hukum, tulis Amrina. Di sisi lain, ini juga akan menyebabkan kebingungan masyarakat dalam rangka mencari keadilan serta penyelesaian kasus, terutama kekerasan seksual terhadap anak.

Dari wawancaranya dengan Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Aceh, Amrina menemukan jeratan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang ada di dalam qanun ternyata jauh lebih ringan dibandingkan pasal yang terkandung di dalam UUPA. Soalan yang sama sebenarnya telah diembuskan oleh YLBHI-LBH Banda Aceh jauh hari.

Untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak, lembaga nonpemerintah itu sendiri mengalami peningkatan jumlah pengaduan sepanjang 2019-2020. Masalahnya, upaya untuk mendapatkan keadilan bagi para korban terhalang oleh idiosinkrasi aturan yang berlindung di balik dalih otonomi khusus.

Ini bahkan terlampau sensitif untuk dibahas di ruang terbuka, terlebih yang sedang dihadapi notabene adalah sesuatu yang dianggap nirmala karena diyakini berjalan di atas nubuat dan sabda. Mereka yang ingin mengotak-atik qanun, otomatis sedang menabuh genderang perang atau menjadi public enemy.

Yogianya, egosentrisitas seperti itu perlu dihilangkan sesaat, mengingat di dalam salah satu poin konsiderans qanun tersebut tertulis bahwa syariat Islam dilaksanakan dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum.

Orang-orang mestinya sadar bahwa terdapat perbedaan antara Qanun Jinayah dengan UUPA berkaitan dengan jeratan hukum atas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sebuah perbedaan yang tampak kentara, terkesan tidak adil, serta memperlihatkan adanya ketidakpastian hukum yang notabene bertolak belakang dari poin konsiderans qanun itu sendiri.

Saat ini, kabar terbaru menyatakan bahwa DPR tingkat provinsi telah memasukkan revisi Qanun Jinayah dalam program legislasi daerah (prolegda) 2022. Namun, kedua pasal yang dinilai bermasalah tampaknya tidak akan dicabut.

Pihak Komisi I menyatakan di media massa bahwa rencana mereka cuma menambah bobot hukuman. Artinya, pelaku kekerasan seksual tetap akan diadili di pengadilan Mahkamah Syar'iyah.

Tentu saja bukan hal itu yang diinginkan oleh pekerja kemanusiaan. Yang diinginkan ialah mengembalikan otoritas mengadili predator anak kepada UU Perlindungan Anak yang jauh lebih komprehensif.

Terakhir, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Direktur Flower Aceh, Riswati, revisi qanun bertujuan untuk menjamin perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Dan itu semua telah dijamin dalam UU Perlindungan Anak.

Hal ini sesuai pula dengan esensi pelaksanaan Syariah Islam di Aceh. Yakni untuk memberikan kemaslahatan bagi semua pihak serta menghilangkan kemudaratan.

Penulis Rino Abonita, merupakan kontributor Liputan6.com wilayah Aceh. Tautan akun Mastodon penulis.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya