Boro-Boro Kompor Listrik, Warga Ilomata Bonebol Bahkan Tak Mampu Beli Gas Elpiji Bersubsidi

Dengan begitu, saat ini mereka masih menggunakan tungku konvensional untuk aktivitas masak memasak.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 22 Sep 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2022, 09:00 WIB
Amarah Emak-Emak di Gorontalo yang Kesulitan Peroleh Elpiji 3 Kg
Warga Gorontalo saat menggunakan tungku konvensional akibat harga elpigi mahal. (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Gorontalo - Sejumlah warga Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango (Bonebol), Provinsi Gorontalo mengeluhkan mahalnya gas elpiji 3 kilogram. Tidak hanya mahal, gas melon ini sangat sulit didapatkan.

Dengan begitu, saat ini mereka masih menggunakan tungku konvensional untuk aktivitas masak-memasak. Tungku tersebut berbahan bakar kayu yang mereka dapatkan dari hutan.

Kebetulan, posisi Desa Ilomata sendiri sangat dekat dengan Hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Meski begitu, mereka kerap kesusahan mencari kayu bakar saat musim hujan.

"Gas Elpiji di sini sangat mahal, bisa sampai Rp35 ribu per tabung gas. Memang kami sudah terbiasa menggunakan kayu bakar. Tapi yang susah ketika musim hujan," kata Bahtiar Musa kepada Liputan6.com, Senin (19/09/2022).

Menurutnya, jika tabung gas elpiji mahal diakibatkan tidak adanya pangkalan resmi di desa tersebut. Selain itu, akses jalan menuju Desa Ilomata cukup sulit.

Jalan dengan kondisi terjal membuat mereka harus ekstra hati-hati. Selain terjal, desa itu cukup jauh dan terisolasi.

"Orang yang menjual gas elpiji di sini, mereka beli dari pangkalan kemudian dijual lagi. Tidak gampang membawa gas itu sampai ke sini, sebab, medan cukup sulit dan jauh, harga tabung gas warna merah mudah yang lebih mahal lagi di sini," tuturnya.

Simak juga video pilihan berikut:

Tidak Ada Sinyal HP

Tidak hanya sulit mendapatkan gas elpiji, di Desa Ilomata juga sangat sulit mendapatkan sinyal handphone. Warga sekitar harus rela naik ke atas gunung demi mendapatkan sinyal.

"Kalau kami mau menelepon keluarga yang jauh, harus naik gunung dulu baru bisa dapat sinyal," imbuhnya.

Kondisi seperti ini, kata Bahtiar, sudah dirasakan mereka sejak lama sekali. Jadi untuk menerima telepon mereka harus janji terlebih dahulu.

"Biasanya kalau kami yang ditelepon seseorang, harus janji terlebih dahulu. Agar kami bisa menunggu telepon itu di atas gunung," ungkapnya.

"Saya berharap pemerintah bisa memperhatikan ini. Artinya pembangunan harus merata," ia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya