Ikut Kembangkan AI untuk Senjata, Universitas Korsel Kena Boikot

Para peneliti yang melakukan boikot menyebut pengembangan kecerdasan buatan untuk senjata mendorong terciptanya sistem persenjataan yang lebih otomatis dan cepat.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 09 Apr 2018, 13:30 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2018, 13:30 WIB
Artificial Intelligence
Ilustrasi (sumber: mirror.co.uk)

Liputan6.com, Jakarta - Aksi penolakan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sebagai senjata telah cukup lama didengungkan. Salah satunya dilakukan oleh 50 peneliti kecerdasan buatan dari 30 negara baru-baru ini. 

Dikutip dari The Guardian, Senin (9/4/2018), aksi penolakan ini ditujukan untuk Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) yang dilaporkan telah menjalin kerja sama dengan perusahaan senjata Hanwha Systems dalam perkembangan AI.

Dalam aksi penolakan itu, para peneliti melakukan boikot untuk bekerja sama dengan pihak yang berasal dari KAIST. Para peneliti khawatir perkembangan kecerdasan buatan semacam ini dapat mendorong terciptanya sistem senjata otomatis.

"Ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan kecerdasan buatan untuk menolong kehidupan, termasuk dalam konteks militer. Namun, ikut mengembangkan sistem senjata otomatis perlu mendapat perhatian lebih," tutur Toby Walsh sebagai penggagas aksi boikot.

Perhatian peneliti juga bukannya tanpa alasan, mengingat Hanwha merupakan salah satu manufaktur senjata terbesar di Korea Selatan. Perusahaan ini juga menjadi pembuat amunisi tandan yang dilarang di 120 negara di bawah perjanjian internasional.

Menanggapi aksi itu, Presiden KAIST Sung-Chul Shin, mengaku menyayangkan boikot yang dilakukan. Menurutnya, KAIST tak memiliki rencana untuk ikut dalam pengembangan sistem senjata otonomos yang mematikan dan robot pembunuh.

"Sebagai institusi akademis, kami menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan standar etis. Saya memastikan KAIST tak akan ikut dalam penelitian yang bertentangan dengan kemanusiaan termasuk senjata otonomos yang dikendalikan manusia," tuturnya.

Sekadar informasi, aksi boikot ini dicanangkan sebelum pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal kecerdasan buatan dan senjata otonomos yang rencananya digelar di Jenewa, Swiss. Ada lebih dari 20 negara yang sudah menolak penggunaan robot untuk kebutuhan militer.

Perhatian Soal Robot Otonomos Sebagai Senjata

Ilustrasi Kecerdasan Buatan. Kredit: Geralts via Pixabay
Ilustrasi Kecerdasan Buatan. Kredit: Geralts via Pixabay

Sebenarnya, ini bukan kali pertama ada penolakan terhadap pengembangan robot otonomos sebagai senjata. Dalam konvesi Certain Conventional Weapons tahun lalu, salah satu topik yang menjadi pembahasan adalah soal penggunaan robot bersenjata.

Saat konvesi itu, dalam salah satu presentasi diputar video singkat mengenai bahaya robot bersenjata apabila benar-benar digunakan sebagai senjata perang.

Video ini dirilis oleh Future of Life Institute--organisasi yang didirikan oleh Elon Musk dan Stephen Hawking. Video itu menunjukkan penggunaan drone bersenjata dapat berbahaya apabila jatuh ke tangan yang salah.

Ilustrasi dalam video itu juga menggambarkan robot berbekal senjata ini dapat dengan mudah membunuh manusia. Berbekal akurasi tinggi, robot-robot ini dapat beroperasi dengan sangat cepat.

Kendati demikian, profesor di UC Berkeley Stuart Rusell yang juga seorang ahli kecerdasan buatan menuturkan, video tersebut tak lebih dari sebuah ilustrasi. Akan tetapi, video itu merupakan hasil integrasi dari teknologi yang sudah dimiliki saat ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah setuju untuk membatasi penggunaan teknologi yang berpotensi menghancurkan. Terlebih, perkembangan teknologi saat ini dianggap selalu melampaui jangkauan hukum atau pemerintah.

Seruan Elon Musk menolak robot bersenjata

Elon Musk
Elon Musk (AFP)

Salah satu pendiri Future of Life Institute, Elon Musk, memang telah menyerukan agar PBB melarang penggunaan robot otonomos bersenjata.

Melalu petisi, pengembangan teknologi ini dapat menjadi revolusi ketiga yang memicu peperangan, seperti bubuk mesiu dan senjata nuklir.

"Setelah dikembangkan, senjata otonom memungkinkan konflik bersenjata akan dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan waktu yang lebih cepat dari pemikiran manusia," tulis seruan dalam petisi itu beberapa waktu lalu.

Alasannya, senjata otonomos dapat digunakan sebagai alat teror melawan masyarakat, apalagi jika dikendalikan oleh pihak tak bertanggung jawab. Petisi ini sudah ditandatangani oleh pendiri 116 perusahaan yang bergerak di bidang kecerdasan buatan dan robotik.

Salah satu yang berpartisipasi adalah Mustafa Suleyman dari Google DeepMind. Pengajuan petisi ini juga bertepatan dengan dimulainya pembicaraan formal PBB terkait regulasi yang mengatur soal robot.

Sekadar informasi, sejumlah negara memang diketahui telah mengembangkan robot senjata otonomos, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Israel. Bahkan, Korea Selatan disebut telah melakukan uji coba beberapa waktu lalu.

(Dam/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya