Liputan6.com, Jakarta - Kalangan buruh menilai penetapan Upah Minimum Provinsi atau UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota atau UMK 2015 yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan besaran inflasi usai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Ketua Advokasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) Joko Heriono mengatakan, kalangan buruh belum menerima keputusan UMP 2015, karena menganggap perhitungannya belum matang tidak dibarengi dengan perkiraan peningkatan inflasi atas dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
"Itu masih belum bisa diterima kalangan buruh. Kami akan turun (demonstrasi), perhitungan BBM naik itu tidak bisa dikira-kira," kata Joko saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Minggu (23/11/2014).
Joko menilai, dalam menetapkan UMP dan UMK 2015 seharusnya pemerintah memperhitungkan dulu dampak inflasi usai kenaikan harga BBM bersubsidi, dengan melihat data Badan Pusat Statistik (BPS)
"Akumulasi belum tentu diperkirakan, kalau mau fair berapa inflasi kenaikan BBM, perubahan UMP berdasarkan inflasi," tuturnya.
Karena itu, menurut Joko kalangan buruh menilai pemerintah telah bertindak gegabah, dan menjadi pemicu buruh melakukan aksi turun kejalan.
"Ini provokasi pemerintah, pernyataannya ngeremehin. Kalau sikapnya tidak bijaksana tidak arif," pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans Wahyu Widodo menuturkan, besaran UMP dan UMK 2015 yang ditetapkan pemerintah telah memasukkan komponen inflasi 2015 yang disebabkan kenaikan harga BBM.
Baca Juga
Dia juga menuturkan, dengan rata-rata kenaikan 12,77 persen maka jika dikalkulasikan UMP rata-rata secara nasional Rp 1,78 juta, angka UMP ini hanya sekitar Rp 13.600 lebih rendah dari rata-rata komponen hidup layak (KHL) nasional.
Advertisement
Tidak terpaut jauhnya antara UMP dengan KHL menunjukkan bahwa para pemimpin daerah telah membuktikan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat UMP.
"UMP 2015 ini seperti jaringan pengaman. Dengan UMP yang mendekati KHL itu mengarahkan masyarakat agar bisa hidup dengan layak. Ke depan, yang harus dipikirkan para Gubernur adalah bagaimana cara mengaitkan upah dengan tingkat produktivitas pekerja," jelas dia. (Ndw)