Liputan6.com, Bengkulu - Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) agar tidak terlalu merosot. Salah satunya dengan memanfaatkan fasilitas bilateral guarantee soft agreement (BGSA) yaitu melakukan transaksi ekspor impor kepada beberapa negara terutama China dengan menggunakan mata uang Yuan.
Artinya, pembayaran transaksi ekspor impor kepada China tidak harus melalui transit penukaran dengan dolar Amerika Serikat (AS). Transit ini bisa langsung menggunakan nilai tukar rupiah dengan yuan.
Baca Juga
Bank Indonesia (BI) pun mengimbau kepada semua pengusaha terutama yang melakukan ekspor impor ke China untuk memanfaatkan fasilitas BGSA dalam rangka mendukung percepatan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Advertisement
Sedangkan transaksi dalam negeri, Yoga menuturkan harus ada larangan melakukan transaksi pembayaran uang mau pun jasa yang menggunakan mata uang selain rupiah. Ini dilakukan untuk tetap menjaga kestabilan peredaran rupiah.
Beberapa usaha di Indonesia baik perdagangan mau pun jasa ada yang menggunakan transaksi menggunakan dolar AS terutama di sektor pariwisata dan jasa perjalanan. Ini juga menjadi salah satu satu target untuk memperkuat rupiah.
"Semua transaksi dalam negeri tidak boleh lagi menggunakan dolar AS. Harus pakai rupiah," kata Yoga, seperti ditulis Jumat (4/9/2015).
Yoga juga menilai, meski nilai tukar rupiah terhadap dolar ASÂ terpuruk tetapi Indonesia masih sangat jauh dari badai krisis moneter. Hal itu lantaran pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di posisi 4,67 persen.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih melemah itu lantaran tren penguatan dolar AS terhadap semua mata uang atau biasa disebut "Super Dolar". Kondisi ekonomi AS yang sedang dalam posisi terbaik itu memicu rencana AS menaikkan suku bunga bank sentral AS, dan direspons negatif oleh hampir seluruh negara di dunia. Hal itu lantaran hampir 80 persen transaksi ekspor impor dunia menggunakan dolar AS.
"Indonesia sedang berhadapan dengan tiga siklus ekonomi secara global yang bertiup cukup kencang antara lain siklus pertumbuhan ekonomi, siklus komoditas, dan keuangan. Kondisi ini menerpa semua negara termasuk Indonesia. Akan tetapi, kondisi ini masih jauh dari krisis moneter," kata Yoga. (Yuliardi/Ahm)