Liputan6.com, Jakarta - Tiga institusi negara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menggenjot program pendalaman pasar keuangan di Indonesia.
Salah satunya untuk membangun infrastruktur di Tanah Air yang membutuhkan investasi Rp 5.000 triliun hingga 2019.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat mendesak.
Negara ini, sambungnya, hanya bisa bertumbuh dengan sehat jika ada pemerataan infrastruktur ke seluruh penjuru Indonesia, bukan saja terpusat di Jawa.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau kita bisa memobilisasi kapasitas infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia, ekonomi kita bisa tumbuh dengan sehat, menekan angka kemiskinan dan pengangguran," ujar Sri Mulyani saat Seminar Internasional Financial Market Deepening di Gedung BI, Jakarta, Senin (19/9/2016).
Indonesia, Ia menuturkan, masih menghadapi tantangan kemiskinan dan pengangguran yang cukup tinggi dibanding negara berkembang lain. Meskipun populasi orang miskin sudah turun dari 11,3 persen menjadi 10,9 persen di 2016, namun Sri Mulyani mengakui angkanya masih berada
pada level dua digit.
"Masih butuh usaha dan kerja keras untuk menurunkannya, termasuk untuk angka pengangguran dan gini ratio (ketimpangan orang kaya dan miskin). Jadi pemerintah ingin mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, inklusif, berkualitas, dan menumbuhkan kesempatan kerja demi mengurangi ketimpangan," jelas dia.
Dalam hal ini, Sri Mulyani mengaku, pembangunan proyek infrastruktur menjadi jalan keluar atas permasalahan tersebut. Negara ini, lanjutnya, membutuhkan pendanaan cukup besar untuk merealisasikannya. Selama ini sumber pembiayaan infrastruktur paling utama berasal
dari perbankan.
"Sektor perbankan berkontribusi 4,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di 2016 atau naik dari 3,9 persen di tahun lalu dan 3,5 persen di periode 2010. Sektor perbankan masih mendominasi industri keuangan dengan aset 78,7 persen dari total aset industri keuangan,"
ujar dia.
Menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, ketergantungan Indonesia terhadap sektor perbankan sangat besar. Sementara peran di industri asuransi, lembaga pembiayaan, pasar modal, Sri Mulyani menilai masih sangat rendah.
"Ke depan, ketergantungan kepada bank tidak sehat bagi kita dilihat dari kemampuan bank menyalurkan kredit untuk pembangunan infrastruktur. Jadi kita perlu mengembangkan pasar keuangan karena pendalaman pasar keuangan kita lebih baik dari Vietnam, tapi lebih
buruk dari Singapura dan Malaysia," ujar dia.
Paling penting, Sri Mulyani mengatakan, pembangunan infrastruktur bukan hanya menyangkut persoalan uang. Pemerintah berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga menarik minat investasi dari berbagai pihak di dalam maupun luar negeri.
"Pembangunan infrastruktur bukan hanya tentang uang, tapi banyak hal seperti regulasi, kemampuan menarik investasi sektor swasta. Kita harus mampu berkompetisi dengan negara lain, termasuk mengenai pricing infrastruktur," tutur Sri Mulyani
Dalam kesempatan sama, Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, pendalaman pasar keuangan, selain perbankan dapat meningkatkan PDB suatu negara. Ia menuturkan, banyak negara telah mendapatkan manfaat dari pasar keuangan yang dalam.
"Aset keuangan di Indonesia terhadap PDB masih rendah dibanding negara tetangga, seperti pasar obligasi kita cuma 15 persen dari PDB," ujar Agus.
Atas dasar ini, Agus mengaku, BI telah mengubah acuan suku bunga dari BI Rate menjadi 7 Day Reverse Repo Rate untuk mendukung pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Juga upaya lain, seperti menyempurnakan aturan Jibor, penyiapan produk lindung nilai (hedging), dan lainnya.
"Kita optimis dengan segala upaya ini dapat memperdalam pasar keuangan dan membuat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Misalnya di pasar modal, khususnya pasar obligasi sehingga membuat kesiapan Indonesia dalam jangka menengah dan panjang," harap Agus. (Fik/Ahm)