Buruh Gugat Tax Amnesty, Dirjen Pajak Tegaskan Terus Bekerja

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menegaskan buruh bukan termasuk objek pajak lantaran penghasilan di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP)

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Okt 2016, 09:15 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2016, 09:15 WIB
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menegaskan buruh bukan termasuk objek pajak lantaran penghasilan di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP)
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menegaskan buruh bukan termasuk objek pajak lantaran penghasilan di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty terus mendapat perlawanan dari buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Buruh menganggap tax amnesty mencederai rasa keadilan, khususnya bagi kaum buruh yang diklaim selalu patuh membayar pajak.

Atas perlawanan tersebut, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi menegaskan buruh bukan termasuk objek pajak lantaran penghasilan di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan batas Rp 4,5 juta per bulan.

"Jadi buruh itu tidak bayar pajak karena pendapatannya di bawah PTKP. Semua masyarakat yang di bawah PTKP tidak bayar Pajak Penghasilan (PPh), tapi PPN mereka bayar semua," ujar Ken di Jakarta, seperti ditulis Minggu (2/10/2016).

Sebagai gambaran Ken memberi contoh, jika seorang buruh memperoleh gaji lebih dari Rp 4,5 juta, misalnya Rp 5 juta per bulan, maka kelebihan Rp 500 ribu dikalikan tarif PPh 5 persen. Dengan demikian, buruh hanya membayar pajak sebesar Rp 25 ribu.

Meski begitu, sambungnya, Dirjen Pajak tidak dapat menghalangi kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk berdemo atau menggugat sebuah produk hukum, seperti UU Tax Amnesty. Termasuk yang dilakukan buruh.

"Kalau demo itu boleh, demo apapun itu. Ngomong apa saja boleh, mau nyerbu DJP juga boleh. Itu hak mereka dan saya terlatih untuk bekerja saja," tutur Ken.

Seperti diberitakan sebelumnya, buruh menegaskan pantang mundur dengan tuntutan supaya Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU Tax Amnesty. Judicial review ini tak terpengaruh dengan pencapaian nilai pernyataan harta maupun uang tebusan dari tax amnesty yang terus meroket.

Presiden KSPI, Said Iqbal meragukan data perolehan dana tax amnesty hingga saat ini. Baginya, sangat tidak masuk akal pemerintah dapat mengumpulkan begitu banyak pelaporan aset atau harta ‎kekayaan WNI dalam ribuan triliunan rupiah selama kurun waktu tiga bulan.

"Apakah aset bersih lebih dari Rp 2.000 triliun sudah diverifikasi, sudah dipotong utang dari orang yang mendeklarasi dan repatriasi. Tidak masuk akal dalam waktu tiga bulan pegawai pajak memverifikasi itu, saya rasa mustahil," jelas dia.

Said menuturkan, Wajib Pajak yang mengemplang pajak selama ini diberi pengampunan sehingga mencederai rasa keadilan terutama bagi buruh yang patuh membayar pajak. Para pengemplang pajak, sambungnya, seolah menjadi pahlawan dengan melaporkan hartanya.

"Tommy Soeharto yang asal usul hartanya tidak jelas dari mana, Hotman Paris yang sudah mengakui pernah tidak lapor harta, dianggap pahlawan. Jangan-jangan ini proses pencucian uang terhadap dana yang selama ini tidak pernah diketahui dari korupsi kah, atau praktik kejahatan lain," ujar dia.

Pemerintah pun, Said mengakui, tidak dapat menjawab pertanyaan cara memilah dana-dana korupsi maupun yang bukan sehingga sekali lagi ditegaskan buruh  UU Tax Amnesty melanggar konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945.

"Bagaimana memilah dana korupsi atau bukan, tidak terjawab pemerintah. Itu berarti UU Tax Amnesty melanggar konstitusi. Dan kami akan terus berjuang cabut UU," ucap Said. (Fik/Ahm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya