Alasan 500 Ribu Buruh Turun ke Jalan Peringati Hari Buruh

Para buruh akan menyuarakan beberapa tuntutan kepada pemerintah pusat dan daerah demi peningkatan kesejahteraan buruh.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Apr 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2017, 15:00 WIB
20151124-Demo-Buruh-YR
Ratusan buruh menggelar aksi demo di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11/2015). Buruh menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 500 ribu buruh di seluruh Indonesia akan turun ke jalan dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau disebut May Day.

Para pekerja atau buruh ini akan menyuarakan beberapa tuntutan kepada pemerintah pusat dan daerah demi peningkatan kesejahteraan kaum buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengungkapkan, 500 ribu buruh di 32 Provinsi dan 250 Kabupaten akan turun ke jalan.

Mereka akan menggelar aksi di depan kantor gubernur, di antaranya di Serang, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Aceh, Medan, Batam, Banjarmasin, Makassar, Gorontalo, Maluku, dan lainnya.

"Jadi jumlah buruh yang akan aksi bukan cuma 30 ribu orang, tapi setengah juta. Di Jabodetabek, Karawang, Purwakarta khususnya, massa 150 ribu buruh akan beraksi di depan Istana Presiden," kata Said di Jakarta, Minggu (30/4/2017).

‎Titik kumpul peringatan May Day oleh buruh di Jabodetabek di Patung Kuda depan Kantor Indosat pukul 10.00 WIB. Dalam aksinya, buruh mengangkat isu yang disebut HOSJATUM, yakni:

1. Hapus outsourcing dan pemagangan
2. Jaminan sosial direvisi, yaitu jaminan gratis seluruh rakyat dan jaminan pensiun buruh sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 60 persen dari gaji terakhir
3. Tolak upah murah dengan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Dalam kenaikan upah contohnya di 2017, dalam satu bulan hanya seharga satu potong kebab di Eropa," ucap Said.

Dia menuturkan, ketiga isu ini disuarakan buruh dalam peringatan May Day bukan tanpa alasan. Said menilai, kesejahteraan dan per‎lindungan terhadap buruh menurun drastis dalam dua tahun terakhir.

"Jadi pernyataan Menteri Tenaga Kerja bahwa perlindungan kaum buruh makin membaik, itu tidak benar," tegas Said.

Ia menerangkan, penurunan kesejahteraan dan perlindungan buruh dapat terlihat dari beberapa aspek. Pertama, penggunaan outsourcing makin masif di perusahaan swasta. Program pemagangan yang diluncurkan pemerintah, Ia menilai makin memperparah hilangnya perlindungan bagi buruh.

Kata Said, orang-orang yang magang di perusahaan bekerja sebagaimana layaknya buruh sebanyak 8 jam per hari tapi tidak mendapatkan gaji. Mereka hanya mendapatkan uang transportasi dan uang makan.

"Hal ini ibarat perbudakan modern. Bagaimana mungkin Menaker tidak tahu hal ini? Termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan banyak menggunakan buruh outsourcing," ujar dia.

Kedua, Ia menuturkan, jaminan pensiun buruh dan PNS berbeda. Padahal nilai iuran pensiun buruh sama dengan pegawai negeri. Pensiunan PNS mendapatkan dana pensiun minimal 60 persen dari gaji terakhir, sedangkan yang didapat buruh hanya sekitar Rp 300 ribu.

Ketiga, jaminan kesehatan dengan sistem INA CBGs membuat pelayanan kesehatan makin memburuk. Bahkan JPK pada saat Jamsostek lebih baik dibandingkan jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan.

Berbagai permasalahan muncul, sebagai contoh, antrean yang sangat panjang, pemberian obat yang terbatas sehingga buruh harus membayar biaya tambahan, permasalahan dalam rawat inap, dan yang lainnya.

Keempat, kembalinya upah murah dengan dihilangkannya hak berunding buruh dalam menetapkan upah minimum melalui PP 78/2015 sehingga buruh tidak bisa ikut menetapkan kenaikan upah minimum.

"Akibatnya upah setiap tahun naik sebesar harga kebab yang dibeli di Eropa, padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim nomor tiga dan tax amnesty nomor satu di dunia. Di DKI Jakarta, upah minimumnya lebih rendah dari Karawang," terang Said.

"Bagaimana mungkin Menaker mengatakan kondisi buruh sekarang jauh lebih baik," ia menambahkan.

Kelima, union busting dan kriminalisasi makin meningkat. Terbukti dengan kasus kekerasan terhadap pekerja Freeport dan kriminalisasi yang pernah dilakukan terhadap aktivis buruh yang kritis terhadap PP 78/2015.

Keenam, harga rumah rusunami yang mahal. Akibatnya, program perumahan ini hanya dinikmati kalangan menengah atas. Ketujuh, KSPI dan ASPEK Indonesia menolak keras otomatisasi jalan tol karena akan menyebabkan puluhan ribu buruh jalan tol akan ter-PHK.

Namun Menaker malah mendukung program ini. Bukannya membela serikat pekerja ASPEK Indonesia yang menjadi anggota KSPI, agar terhindar dari PHK massal.

Said berpendapat, kebijakan pemerintahan sekarang ini khususnya di bidang tenaga kerja jauh panggang dari api terhadap perlindungan dan kesejahteraan. KSPI dan buruh Indonesia dalam May Day tetap menggelar aksi, bukan karnaval wisata.

Aksi dilakukan karena Menaker gagal melindungi kesejahteraan kaum buruh. "May Day adalah aksi. May Day bukan parade karnaval. Bukan karnaval pariwisata," ujar Said.

 

 

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya