Trump Ancam Perang Dagang, RI Siap Lawan

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif bea masuk 124 produk asal Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 06 Jul 2018, 11:18 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2018, 11:18 WIB
Gaya Mendag Enggartiasto Lukita Saat Pemotretan
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat pemotretan dalam kunjungannya ke Kantor Liputan6 di SCTV Tower, Jakarta (4/5). Di Partai Nasdem, Enggartiasto dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif bea masuk 124 produk asal Indonesia.

Padahal Indonesia merupakan salah satu negara Generalized Sisytem of Preference (GPS) dari pemerintah AS, yaitu negara yang mendapat fasilitas keringanan bea masuk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang dan miskin.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan, ancaman AS itu karena ada defisit dalam hubungan perdagangan AS-Indonesia. Padahal, kata dia, ada kesalahan penghitungan dari pihak Amerika Serikat. Untuk menyelesaiakan persoalan tersebut, Enggartiasto mengaku telah mengirim surat kepada pihak AS.

"Yang GSP-nya, kita termasuk dalam daftar negara yang memiliki surplus yang besar. Tapi kami juga sudah kirim surat dan kita sudah menyampaikan mengenai yang pasti ada perbedaan angka dulu, bagaimana menghitungnya, jumlah defisit mereka dengan surplus kita berbeda angkanya," kata Enggartiasto.

Enggartiasto mengaku telah mendekati pemerintah AS. Bahkan duta besar Indonesia untuk AS pun turun tangan melakukan pendekatan.

"Dubes kita di Amerika juga menyampaikan pendekatan, dan saya sendiri melakukan komunikasi dengan Amerika untuk meyakinkan, sebab pada dasarnya kita tidak setuju dengan perang dagang, semua pihak akan dirugikan, kita lebih senang dengan kolaborasi," ujar dia.

Kendati demikian, jika Amerika Serikat tetap menekan bea masuk dari Indonesia, Enggartiasto menyatakan siap melawannya.

"Tetapi kalau kita dapat tekanan, maka hal itu bisa kita lakukan. Sama halnya dengan Amerika Serikat dan China, tapi itu akan berdampak di seluruh dunia,” ujar dia.

Enggartiasto mencontohkan salah satu perlawanan yang pernah dilakukan terhadap pemerintah Norwegia. Norwegia melarang masuknya impor sawit dari Indonesia, pihak Indonesia juga mengancam tidak akan mengizinkan komoditi andalan Norwegia yaitu ikan salmon masuk ke Indonesia. Akhirnya, perlawanan tersebut berhasil dan pihak Norwegia batal memblokir kelapa sawit asal Indonesia.

Untuk itu, dia optimistis bisa mencegah perang dagang Amerika dengan Indonesia. "GSP ini kita masih dalam pembicaraan untuk tidak masuk dalam watch list itu, dan nanti kita akan bahas,” kata dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Ancaman Perang Dagang AS ke Indonesia

20161129- Kadin dan Apindo Angkat Bicara Dampak Aksi 212-Jakarta- Angga Yuniar
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani (kiri) memberikan tanggapan terkait rencana Aksi 2 Desember di Jakarta, Selasa (29/11). Hariyadi berharap Aksi 212 berjalan tertib dan tidak mengganggu kegiatan usaha. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mengambil ancang-ancang untuk mencabut beberapa perlakuan khusus yang diberikan Amerika kepada Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa ancaman tersebut sebenarnya sudah dijalankan Trump dengan mencabut GSP (Generalized System of Preferences) produk tekstil Indonesia.

"GSP memang untuk tekstil sudah ditarik dari Januari lalu. Jadi memang AS menerapkan itu tidak hanya ke China, tapi semua negara yang dia defisit, termasuk Indonesia. Jadi memang ini tantangan ke kita. Yang saya tau tekstil ya, tekstil sudah dicabut GSP-nya," ungkapnya di Kantor APINDO, Jakarta, Kamis 5 Juli 2018.

Dia menjelaskan, Trump mencabut GSP terhadap negara yang mengalami defisit neraca perdagangan. "Memang secara keseluruhan Trump melihatnya yang dia defisit dipotong saja semuanya. Mudah-mudahan tidak sampai ke sana ya," jelas dia.

Sebagai informasi, GSP merupakan sistem pengecualian formal dari aturan yang lebih umum dari WTO yang mengharuskan setiap negara anggota WTO menerapkan tarif impor perdagangan yang sama dengan seluruh negara anggota lainnya.

Dengan GSP, negara anggota WTO dapat menurunkan tarif bagi negara-negara yang kurang berkembang, tanpa harus menurunkan tarif untuk negara-negara kaya.

Ketua APindo Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan saat ini ada sekitar 124 produk Indonesia yang sedang di-review GSP-nya oleh AS.

"GSP kita sedang di-review, dan ada sekitar 124 produk dan sektor yang saat ini sedang dalam review, termasuk di dalamnya kayu plywood, cotton, macam-macam. Tekstil sih sebenarnya ga masuk dalam 124 produk itu ya, tapi dia juga kena akan di-review secara menyeluruh untuk lebih mendapatkan manfaatnya. Lalu juga ada produk-produk pertanian, udang dan kepiting kalau ga salah, ini saya lagi liat list-nya juga," ujar dia.

Shinta menjelaskan jika GSP dicabut maka bea masuk produk ekspor Indonesia ke AS akan semakin mahal. "Tapi prinsipnya, itu yang jadi kuncinya, karena kalau kita kehilangan GSP-nya, kita ekspor kesana akan lebih mahal karena tarifnya lebih tinggi," imbuh dia.

Meskipun demikian, dia mengatakan, Indonesia masih bisa berharap rencana tersebut tidak berlanjut ke produk yang lain. Ancang-ancang perang dagang antara AS dan Tiongkok diharapkan menjadi pertimbangan bagi Trump untuk mengurungkan niatnya.

"Upaya diplomasi ke sana sudah ada, baik pemerintah maupun asosiasi kan kita dipanggil ke sana untuk hearing. Sekarang prosesnya sudah sampai public hearing, nanti kita asosiasi, importir dari sana juga dipanggil, nanti ada panel pendukung dan panel oposisi. Dalam beberapa bulan inilah," katanya.

"Tapi sebenarnya saya melihat posisi kita cukup baik ya, karena perang dagang AS-China, mereka enggak mungkin mampu untuk confront semua negara di semua lini. Jadi kita coba ngambil positifnya aja deh," tandasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya