Tanggapan LBH Jakarta soal Asosiasi Minta Data Aduan Konsumen

LBH Jakarta angkat bicara mengenai keluhan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mengaku tak diberi data aduan konsumen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 04 Feb 2019, 20:30 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2019, 20:30 WIB
Ilustrasi Fintech
Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta angkat bicara mengenai keluhan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mengaku tak diberi data aduan konsumen seputar perusahaan fintech nakal oleh instansi tersebut.

Pengacara dari LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora mengatakan, pihak yang berwenang untuk mendapatkan laporan data tersebut ialah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan AFPI.

"Kita bukannya sentimen dengan AFPI. Tapi kita melihat bahwa ini wewenang OJK. Yang buat regulasi OJK," kata dia di kantornya, Jakarta, Senin (4/2/2019).

Nelson juga turut menanggapi respons OJK yang pada beberapa waktu lalu sempat meminta data serupa kepada LBH Jakarta namun tak diberikan.

Dia menyatakan, pihaknya harus memohon kepada client-nya terlebih dahulu sebelum menyerahkan laporan pengaduan ke OJK.

"OJK undang kita, terus minta datanya. Enggak bisa langsung kita kasih. Di formulir pengaduan sudah kita tulis, LBH Jakarta menjamin seluruh data yang diberikan oleh pengadu," ujar dia.

Menindaki hal tersebut, ia menyampaikan, LBH Jakarta telah mengirimkan surat kepada OJK per tanggal 10 Januari 2019 terkait data pengaduan.

Dalam surat itu, lembaga meminta keterangan lebih lanjut terkait tiga hal, antara lain isi data seperti apa yang dibutuhkan OJK, bagaimana cara pemberian data, serta mekanisme penyelesaian atas pengaduan tersebut.

"Sudah ada tanda terimanya per 10 Januari 2019. Apa tanggapan OJK? Tidak ada. Disuruh datang ke sini, tidak datang," ungkap Nelson.

"Kita enggak bisa langsung ngasih data. Kita tanya dulu yang ngadu ke kita, mau enggak kasih datanya. Kita tanya juga ke OJK, lu minta data model apa, terus nanti penyelesaiannya seperti apa. Kemudian jenisnya yang perlu apa, nomor hp kah, alamat kah, bukti-bukti pengaduan kah," sambungnya.

Sebab, ia beralasan, LBH Jakarta telah diberi kepercayaan oleh orang yang mengadu kepadanya. "Kepercayaan itu enggak sembarangan, mahal harganya. Enggak bisa dinilai dengan uang," ucap dia.

Ketika ditanya apakah LBH Jakarta akan memberikan data pengaduan kepada OJK bila otoritas sudah membalas surat tersebut, Nelson tak yakin pihak yang bersangkutan bakal meresponsnya.

"Kayaknya OJK enggak bakal respons. Saya sanksi, soalnya sudah hampir sebulan. Di birokrasi enggak selama itu bahas ini, masa sebulan," ujar dia.

 

AFPI Belum Terima Laporan

(Foto: Liputan6.com/Bawono Y)
Pertemuan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) (Foto:Liputan6.com/Bawono Y)

Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku belum menerima laporan pinjaman online (fintech) nakal hingga hari ini dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah menuturkan, pihaknya belum dapat menyelesaikan kasus itu hingga memperoleh data-data pendukung dari LBH. Ia meminta agar LBH Jakarta seharusnya dapat mendengarkan pernyataan dari sisi penyelenggara.

"LBH sebagai lembaga kredibel harusnya fairness, adil mendengarkan dua sisi yaitu pengadu dan penyelanggara. Dengan tidak adanya data, kami melihat belum ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah," ujar dia di Jakarta Selatan, Senin 4 Februari 2019.

Ia menyayangkan, usaha baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi yang tidak disambut kooperatif oleh LBH sebagai pihak penerima laporan tersebut. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, sebagai tindakan preventif, pihaknya telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending (Pendanaan Online).

"Dengan demikian, kami harap ini akan melindungl konsumen, seperti diantaranya Iarangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik itu,

AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari," ujar dia.

Selain itu, AFPI juga tengah mengembangkan pusat data Fintech, terutama untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya