Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Rapat ini mengenai Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN dan RKP 2020, dengan agenda Penyampaian dan Pengesahan Laporan Panja-panja.
Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi III DPR John Kennedy Azis meminta pemerintah hati-hati dalam melakukan penambahan utang untuk pembangunan negara di 2020. Pihaknya juga meminta setiap penambahan utang harus melalui persetujuan DPR.
Advertisement
"Catatan, jika pemerintah memutuskan menambah utang untuk mempercepat pembangunan negara agar pemerintah melakukannya dengan prinsip kehati-hatian dan tetap menjaga rasio utang sesuai dengan undang-undang dan persetujuan DPR," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Baca Juga
John melanjutkan, arah dan strategi kebijakan pembiayaan utang ke depan harus mengedepankan aspek kehati-hatian melalui pengendalian rasio utang dalam batas aman berkisar 29,4 sampai 30,1 persen PDB untuk mendukung keseimbangan fiskal .
"Kedua, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. Kemudian, terciptanya efisiensi biaya utang. Selain itu, pemerintah juga harus menjaga keseimbangan makro dengan menjaga komposisi utang domestik dan valas dalam batas terkendali serta pendalaman pasar keuangan," jelasnya.
Sementara itu untuk pembiayaan nonutang, DPR meminta pemerintah harus mendorong efektivitas pembiayaan investasi pada kisaran 0,3 persen hingga 0,5 persen dari PDB. "Kedua meningkatkan pembiayaan kreatif dan inovatif untuk akselerasi pembangunan infrastruktur kewajiban penjaminan, peningkatan akses pembiayaan UMKM, UMI," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Indonesia Tembus Rp 4.571 Triliun di Mei 2019
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang Indonesia pada akhir Mei 2019 sebesar Rp 4.571 triliun. Dengan demikian, rasio utang terhadap PDB pada periode yang sama adalah 29,72 persen.
"Posisi utang di bawah 30 persen atau 29,72 persen. Posisi utang terjaga aman," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Sri Mulyani mengatakan, Kemenkeu juga telah melakukan pembiayaan utang hingga 31 Mei 2019 sebesar Rp 159 triliun. Angka tersebut mencapai sekitar 44,43 persen dari target tahun ini sebesar Rp 359 triliun.
"Pembiayaan utang hingga Mei 2019 terealisasi sebesar Rp 159,6 triliun dan ini lebih rendah dari tahun lalu sebesar Rp 178,5 triliun. Growthnya 10,6 persen," jelasnya.
Mengutip data APBN Kita, realisasi Surat Berharga Negara (SBN) hingga akhir Mei 2019 mencapai Rp 186,04 triliun atau 47,83 persen dari target yang ditetapkan pada APBN 2019. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan realisasi SBN periode Mei tahun 2018 yang mencapai Rp 187,90 triliun.
Advertisement
Realisasi Pinjaman Neto
Sementara realisasi pinjaman neto mencapai negatif Rp 26,41 triliun atau 88,89 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 dengan rincian penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 56,90 miliar dan pembayaran cicilan pokok sebesar Rp 421,7 miliar, serta penarikan pinjaman luar negeri mencapai Rp 11,27 triliun dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman sebesar Rp 37,32 triliun.
Untuk terus menunjang rencana proyek infrastruktur pemerintah serta pembangunan sumber daya manusia Indonesia, diperlukan dana yang cukup besar yang tidak dapat sepenuhnya digantungkan pada pendapatan negara karena pendapatan negara belum cukup menutupi pengeluaran Pemerintah.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur serta pembangunan sumber daya manusia merupakan kegiatan yang tidak dapat ditunda lagi demi mendukung daya saing Ilndonesia di kancah internasional.
Pembiayaan baik berupa penerbitan SBN maupun berupa pinjaman dari dalam dan luar negeri menjadi salah satu sarana Pemerintah untuk membiayai kegiatan pembangunan. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah memegang teguh prinsip kehatihatian dan akuntabilitas pengelolaan utang dengan menjadikan pinjaman dalam negeri sebagai fokus utama Pemerintah beberapa tahun terakhir.
"Pemerintah benar-benar memperhitungkan bahwa setiap rupiah utang yang dilakukan harus dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya agar tidak menimbulkan biaya yang lebih besar di masa depan," pungkas Sri Mulyani.