Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menyebut, utang pemerintah sebesar Rp6.361 triliun pada Februari 2021 sudah sesuai dengan proyeksi. Menurutnya posisi utang ini dibutuhkan untuk pembiayaan APBN dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Utang naik sesuai proyeksi. Pembiayaan APBN memang dibutuhkan untuk menangani pandemi, di saat penerimaan tertekan dan belanja naik," kata dia seperti dikutip dari laman Twitternya @prastow, Jumat (26/3/2021).
Baca Juga
Dia menambahkan, pembiayaan APBN selama masa pandemi juga difokuskan untuk bantuan sosial (bansos), pemberian insentif kepada dunia usaha dan UMKM, hingga progam vaksinasi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Advertisement
Seperti diketahui, posisi utang pemerintah per akhir Februari 2021 berada di angka Rp361,01 triliun atau setara dengan 41,10 persen terhadap PDB. Jumlah ini meningkat sebesar 0,7 persen jika dibandingkan perode sama tahun lalu yang hanya sebesar Rp217,6 triliun.
Rincian Utang
Adapun rincian utang pemerintah pada Februari 2021 terdiri dari pasar domestik dan valas. Dari pasar domestik terkumpul Rp4.235 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara sebanyak Rp3.463 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp771 triliun.
Sedangkan dari valas totalnya Rp1.263 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara Rp1,011 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp241 triliun.
Sementara itu, sisa utang pemerintah berasal dari pinjaman sebesar Rp862 triliun atau 13,56 persen dari total utang. Terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp12,51 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp849,87 triliun.
Lebih rinci, komponen utang luar negeri terdiri dari bilateral, multilateral dan bank komersial. Antara lain pinjaman bilateral sebanyak Rp331 triliun, pinjaman multilateral Rp473 triliun dan pinjaman bank komersial Rp45 triliun.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ekonom Indef: Pemerintah Jokowi Warisi Utang Rp 8.000 Triliun
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan, utang era Presiden Jokowi naik sebesar 150 persen.
Utang ini merupakan akumulasi peninggalan utang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Rp2700 triliun, utang di era Presiden Jokowi hingga kini Rp6.336 triliun.
"Ditinggal SBY beralih ke Jokowi Rp2700 triliun sekarang Rp6.336 triliun. Ibu Sri Mulyani melihat datanya kemarin sudah sampai Rp6.336 triliun. Jadi 150 persen dalam waktu hanya 5-6 tahun," ujarnya, Jakarta, Rabu (24/3).
Didik melanjutkan, utang tersebut belum digabungkan dengan utang BUMN yang juga tergolong sangat besar. Di mana, utang BUMN hingga kini tercatat mencapai kurang lebih Rp2.100 triliun maka secara keseluruhan sekitar Rp8.000 triliun.
"Ini belum termasuk warisan utang BUMN belum dihitung. Utang BUMN meningkat pesat diluar tabungan dan deposito Rp2100 triliun. Kalau ditambah utang saat ini, Jokowi mewariskan Rp 8.000 triliun utang. Ini suatu prestasi yang besar," paparnya.
Didik menambahkan, memasuki periode kedua, pemerintahan Presiden Jokowi sudah kurang bertanggung jawab terhadap pengelolaan utang. Begitu juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai tidak memberikan banyak kritik terhadap peningkatan utang.
"Mengapa DPR tak berkutik karena kekuasaan eksekutif sudah pindah ke legislatif. DPR nya sudah seperti masa orde baru. Kesimpulan sementara, utang itu sangat besar sekali," tandasnya.
Advertisement