Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus menguat pada pagi ini seiring harapan perlambatan kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat The Fed.
Kurs rupiah Rabu (9/11/2022) pagi menguat 38 poin atau 0,24 persen ke posisi 15.660 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.698 per dolar AS.
Baca Juga
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra, mengatakan dolar AS terlihat melemah terhadap nilai tukar lainnya sejak akhir pekan lalu.
Advertisement
"Pasar melihat ada harapan bahwa The Fed akan mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya sehingga pelaku pasar mulai mengantisipasi hal tersebut dengan masuk ke aset berisiko dan mendorong pelemahan dolar AS. Rupiah pun ikut menguat dengan sentimen ini," ujar Ariston, dikutip dari Antara.
Di sisi lain, lanjut Ariston, kalau melihat pergerakan rupiah relatif tidak besar dan masih berada di dekat level 15.700 per dolar AS.
"Ini mengindikasikan tekanan terhadap rupiah masih tinggi. Rupiah masih berpeluang melemah," kata Ariston.
Menurut Ariston, pelaku pasar masih mencermati data-data ekonomi AS ke depan untuk memproyeksikan kebijakan moneter bank sentral AS seperti data inflasi dan data tenaga kerja.
"Dengan masih tingginya inflasi AS yang jadi pertimbangan utama The Fed dalam mengambil kebijakan, pasar masih mewaspadai kebijakan suku bunga tinggi AS," ujar Ariston.
Ariston memperkirakan hari ini rupiah berpotensi menguat ke arah 15.650 per dolar AS dengan potensi pelemahan 15.720 per dolar AS.
Pada Selasa (8/11) lalu, kurs rupiah ditutup menguat 10 poin atau 0,06 persen ke posisi 15.698 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.708 per dolar AS.
Depresiasi Rupiah Cuma 8,62 Persen, Lebih Baik dari India hingga Malaysia
Stabilitas sistem keuangan (SSK) pada kuartal III 2022 masih tetap berada dalam kondisi yang resilien. Hal tersebut dibuktikan dengan kondisi nilai tukar rupiah yang masih lebih baik dibanding dengan beberapa negara tetangga.
Dalam Rapat Komite Stabilitas sistem keuangan (KSSK) yang dihadiri oleh Menteri Keuangan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terungkap bahwa stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga di tengah tren menguatnya Dolar AS.
Dikutip dari keterangan tertulis KSSK, Kamis 3/11/2022), Indeks nilai tukar Dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai level tertinggi dalam dua dekade terakhir yaitu 114,76 pada tanggal 28 September 2022.
Sementara itu, nilai tukar rupiah sampai dengan 31 Oktober 2022 terDepresiasi 8,62 persen (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.
Contohnya India yang terdepresiasi 10,20 persen, Malaysia terdepresiasi 11,86 persen, dan Thailand terdepresiasi 12,23 persen.
Depresiasi ini sejalan dengan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.
Tren depresiasi nilai tukar negara berkembang tersebut didorong oleh menguatnya Dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara, terutama AS.
Advertisement
Sejarah Hari Oeang, Menengok Perjuangan Indonesia Punya Mata Uang Sah Rupiah
Indonesia memperingati Hari Oeang yang jatuh setiap tanggal 30 Oktober. Hari Oeang merupakan pengingat atas tonggak sejarah dimana Indonesia pertama kali menerbitkan mata uang resminya sendiri, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan, Senin (31/10/2022) ORI mulai berlaku pertama kali pada 30 Oktober 1946, meskipun demikian bila melihat lembaran ORI pertama, tertulis emisi bertanggal 17 Oktober 1945.
Hal ini menunjukkan banyaknya kendala dalam dalam proses pembuatan, pencetakan, dan peredaran ORI saat itu. Saat pertama kali diterbitkan, ORI tidak dapat langsung didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia karena adanya gangguan-gangguan dari Belanda atas peredaran ORI.
NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) saat itu bahkan mengeluarkan mata uang NICA pada tanggal 6 Maret 1946 meski ORI sudah diterbitkan, yang pada akhirnya menambah inflasi dan melanggar kedaulatan Indonesia.
Dimasa awal-awal kemerdekaan, beberapa kali Ibukota Indonesia sempat berpindah tempat. Dari Jakarta ke Yogyakarta, dan ketika Yogyakarta diduduki muncul Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Selain di Jakarta, ORI juga sempat dicetak di Yogyakarta ketika terjadi perpindahan sementara Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogjakarta pada tahun 1946 -1948. Pepindahan itu terjadi sebagai akibat dari serbuan gencar Belanda ke Jakarta. Karena itu, pada ORI nominal Rp25,- tahun 1947 tertulis kota Djokjakarta yang mengacu pada kota tempat pencetakan uang dan tanggal penerbitan uang.
Kemunculan ORIDA
Karena sulitnya mengedarkan ORI ke sejumlah wilayah, beberapa Pemerintah Daerah berinisiatif meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk menerbitkan mata uang sendiri yang berlaku terbatas di daerah tersebut dan bersifat sementara.
Mata uang itu disebut dengan ORI Daerah atau ORIDA. Namun, kemunculan ORIDA sebenarnya kurang tepat bagi Indonesia sebagai kesatuan fiskal. Tetapi dikarenakan situasi yang tidak ideal pada saat itu, membuat Pemerintah Pusat menyetujui terbitnya beberapa ORIDA.
ORIDA yang sempat terbit antara lain ORIPSU di Sumatera Utara, ORITA di Tapanuli, ORIDABS di Banten, ORIBA di Banda Aceh, dan beberapa ORIDA lain.
ORIDA pertama di Indonesia adalah ORIPS (Oeang Republik Indonesia Provinsi Sumatera) dengan emisi pertama tertanggal 11 April 1947. Adapun ORIDA pertama di pulau Jawa adalah ORIDA Banten dengan emisi tertanggal 15 Desember 1947.
Saat agresi militer Belanda I melanda Sumatera, kegiatan pencetakan ORIPS dipindah dari Tapanuli ke Bukittinggi, hal ini dilakukan untuk menghindari penguasaan mesin-mesin percetakan uang oleh tentara Belanda. Dari Bukittinggi, percetakan uang ini mampu menyuplai kebutuhan ORIPS di berbagai wilayah di pulau Sumatera.
Advertisement