Negara Ekonomi Terbesar Eropa Terkontraksi, Sinyal Resesi di Depan Mata?

Produk domestik bruto (PDB) Jerman turun 0,2 persen pada kuartal IV 2022.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 31 Jan 2023, 16:03 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2023, 16:03 WIB
Kasus Covid-19 di Jerman
Orang-orang terlihat di luar Stasiun Kereta Pusat Berlin di Berlin, ibu kota Jerman, pada 6 Agustus 2020. Kasus COVID-19 di Jerman bertambah 1.045 dalam sehari sehingga total menjadi 213.067, seperti disampaikan Robert Koch Institute (RKI) pada Kamis (6/8). (Xinhua/Shan Yuqi)

Liputan6.com, Jakarta - Negara ekonomi terbesar di Eropa, Jerman secara tak terduga mengalami penyusutan ekonomi pada kuartal keempat 2022.  Jerman merupakan negara ekonomi terbesar di Eropa.

Kontraksi ini semakin menunjukkan kemungkinan bahwa negara itu sudah memasuki resesi seperti yang sebelumnya diprediksi, meskipun kemungkinan terburuk sudah mereda dibandingkan yang dikhawatirkan sebelumnya.

Mengutip US News, Selasa (31/1/2023) data resmi kantor statistik federal Jerman menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu turun 0,2 persen pada kuartal IV 2022.

Padahal, di kuartal sebelumnya, ekonomi Jerman sempat tumbuh sebesar 0,5 persen yang direvisi naik dibandingkan tiga bulan sebelumnya.

Sebagai informasim eesesi secara umum didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.

"Bulan-bulan musim dingin berubah menjadi sulit - meskipun tidak sesulit yang diperkirakan sebelumnya," kata kepala ekonom VP Bank, Thomas Gitzel.

"Kehancuran ekonomi Jerman yang parah tidak ada, tetapi sedikit resesi masih akan terjadi," sebutnya.

Pekan lalu, Menteri Perekonomian Jerman Robert Habeck mengatakan dalam laporan ekonomi tahunan pemerintah bahwa krisis ekonomi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina sekarang dapat ditangani, meskipun harga energi yang tinggi dan kenaikan suku bunga membuat pemerintah tetap berhati-hati.

Situasi ekonomi Jerman diprediksi akan membaik mulai musim semi dan seterusnya, dan perkiraan PDB Jerman untuk tahun 2023 ini juga direvisi menjadi 0,2 persen, naik dari perkiraan penurunan 0,4 persen.

Sementara itu, European Central Bank (EBC) atau bank sentral Eropa telah berkomitmen untuk menaikkan suku bunga utamanya setengah poin persentase pekan ini menjadi 2,5 persen untuk mengekang inflasi di kawasannya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dibayangi Resesi, Ekonomi AS Tumbuh 2,9 Persen di Akhir 2022

Penampakan Rak Kosong di Supermarket AS
Pembeli di toko grosir di Pittsburgh melihat tampilan daging sarapan yang sebagian kosong, Selasa (11/1/2022). Varian Omicron yang sangat menular menciptakan kekurangan tenaga kerja yang memengaruhi pengiriman produk dan pengisian kembali rak-rak toko di seluruh negeri. (AP Photo/Gene J. Puskar)

Perekonomian Amerika Serikat tumbuh pada kecepatan yang lambat karena kekhawatiran resesi, tetapi berkinerja lebih baik dari yang diharapkan pada bulan-bulan terakhir tahun 2022.

Melansir Channel News Asia, Jumat (27/1/2023) Departemen Perdagangan mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi AS telah berjalan moderat karena bank sentral atau The Fed menaikkan suku bunga pinjaman hingga tujuh kali tahun lalu, dengan harapan mendinginkan permintaan dan mengekang biaya di tengah lonjakan inflasi.

Negara ekonomi terbesar di dunia itu tumbuh 2,1 persen sepanjang tahun 2022, turun dari angka tahun 2021, menurut data Departemen Perdagangan.

Di kuartal terakhir 2022 produk domestik bruto AS tumbuh melampaui ekspektasi, sebesar 2,9 persen. "Peningkatan PDB riil pada tahun 2022 terutama mencerminkan peningkatan belanja konsumen, ekspor, dan bentuk investasi tertentu," demikian keterangan Departemen Perdagangan AS.

Presiden JAS oe Biden menyambut dengan baik tumbuhnya perekonomian, menyebutkan sebagai "berita yang sangat baik tentang ekonomi Amerika".

"Kita bergerak ke arah yang benar. Sekarang kita harus melindungi keuntungan itu ... yang dihasilkan oleh kebijakan kita," ujar Biden dalam sebuah pidato di Virginia.

Meski ekonomi AS berhasil tumbuh kuat pada kuartal keempat, ekonom dari Oxford Economics Oren Klachkin melihat hal itu belum tentu berlanjut pada awal 2023.

Adapun Rubeela Farooqi dari High Frequency Economics yang juga melhat pengeluaran rumah tangga dan investasi bisnis di AS masih berjalan lambat meski sudah bergerak positif.

Di tambah lagi, sektor perumahan sensitif terhadap terguncang karena kenaikan suku bunga The Fed membebani keterjangkauan.

"Ke depan, data baru-baru ini menunjukkan bahwa laju ekspansi dapat melambat tajam pada kuartal pertama, karena dampak dari kebijakan moneter yang ketat," beber Farooqi.


IMF: Ekonomi Global Tak Seburuk yang Diramal, tapi Masih Rentan Krisis

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva. Dok: Twitter @KGeorgieva

Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva kembali mengingatkan bahwa perekonomian dunia masih berada di titik sulit, meskipun ada optimisme di antara para ekonom dan bisnis dengan melambatnya inflasi.

Hal itu disampaikan Georgieva saat menghadiri panel di World Economic Forum di Davos, Swiss pada Jumat (20/1).

Melansir CNN Business, Senin (23/1/2023) Georgieva mengakui bahwa kondisi ekonomi dunia sudah tidak seburuk dari yang dikhawatirkan beberapa bulan lalu, tetapi mengingatkan masih adanya risiko krisis lanjutan.

Dia mengatakan, dampak dari kenaikan suku bunga oleh negara ekonomi terbesar dunia "belum menekan," dan dapat meningkatkan pengangguran - situasi yang sulit ditanggapi oleh pemerintah yang kekurangan dana untuk ditanggapi secara memadai.

"Situasinya bisa sangat berbeda bagi konsumen yang mengalami (krisis) biaya hidup dan lapangan pekerjaan, daripada yang sudah mengalami (krisis) biaya hidup dan tidak memiliki pekerjaan," katanya.

Seperti diketahui, bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve masih berfokus untuk mencapai target inflasinya di 2 persen.


Bank Sentral Eropa Terus Usahakan Redam Inflasi Hingga ke Target 2 Persen

Brussel Wajibkan Pemakaian Masker di Tempat Umum
Orang-orang memakai masker saat berjalan di Brussel, Belgia, Rabu (12/8/2020). Penggunaan masker menjadi wajib di tempat umum di Brussel karena kasus Covid-19 naik ke tingkat kewaspadaan yang menempatkan kota itu di antara yang paling parah terkena dampak corona di Eropa. (François WALSCHAERTS/AFP)

Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde pun menyatakan bahwa pihanya akan tetap Sesuai rencana dalam menaikkan biaya pinjaman untuk menurunkan inflasi ke target 2 persen bank sentral.

Selain itu, baik kepala IMF maupun ECB juga memperingatkan bahwa dibukanya kembali kegiatan ekonomi China setelah kebijakan nol-Covid-19 akan mendorong harga komoditas, termasuk minyak dan gas alam, karena permintaan diprediksi meningkat akhir tahun ini.

Jumlah LNG (gas alam cair) yang akan (China) beli dari seluruh dunia akan lebih tinggi dari yang kita lihat… akan ada lebih banyak tekanan inflasi yang muncul dari permintaan tambahan pada komoditas, dan khususnya energi, bebr Lagarde.

Hal itu dikhawatirkan bisa membebani pertumbuhan global, yang diperkirakan IMF pada Oktober 2022 akan merosot menjadi 2,7 persen tahun ini.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya