Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) awal tahun 2023 menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih baik.
Hal ini tercermin dari pendapatan negara di bulan Januari sudah mencapai Rp232,2 triliun atau 9,4 persen dari target sebesar Rp2.463,0 triliun.
Baca Juga
“Pendapatan negara naik 48,1 persen (yoy) ke angka yang lebih tinggi dari akhir tahun 2022 mencapai Rp232,2 triliun atau 9,4 persen,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (22/2).
Advertisement
Dari sisi belanja negara di bulan Januari 2023 telah mencapai Rp141,4 triliun atau 4,6 persen dari target di APBN sebesar Rp3.061,2. Sri Mulyani mengatakan belanja negara edisi perdana di 2023 ini mengalami pertumbuhan 11,2 persen dibandingkan kinerja tahun lalu.
“Belanja negara tetap tumbuh Rp141,4 triliun atau tumbuh 11,2 persen, ini sudah 4,6 persen dari target,” kata dia.
Surplus
Selain itu, situasi APBN awal tahun juga masih mengalami surplus sebesar Rp90,8 triliun atau 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga menghasilkan keseimbangan primer sebesar Rp113,9 triliun.
Sebagai informasi, APBN 2023 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.463 triliun. Pemerintah optimis bisa mencapai target tersebut melalui berbagai reformasi perpajakan dan pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk memperkuat fondasi perpajakan yang lebih adil dan efektif serta pendukung pendanaan pembangunan secara sehat dan berkelanjutan.
Belanja Negara
Sementara itu dari sisi belanja negara ditargetkan mencapai Rp3.061,2 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp2.246,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp814,7 triliun.
Belanja pendidikan dan kesehatan masih tetap memiliki alokasi terbesar di dalam rangka membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan produktif, yaitu mencapai Rp612,2 triliun.
Resesi Global Bisa Berujung ke Krisis Ekonomi, Begini Tahapannya
Negara di dunia dibayangi resesi global. Tandanya, mereka mulai berpedang melawan inflasi dengan ramai-ramai menaikkan suku bunga.
Amerika Serikat, Eropa, hingga Indonesia pun tengah melakukan itu. Bank Indonesia sudah berkali-kali menaikkan suku bunga acuannya. Hal itu dibarengi dengan kebijakan pengendalian inflasi di masing-masing daerah.
Yang menakutkan, jika resesi global ini tidak diantisipasi bisa berpotensi menjadi krisis ekonomi.
Pertama, inflasi naik. Jika ini tak bisa ditangani, otomatis akan mempengaruhi konsumsi masyarakat dan kemudian berujung pada pertumbuhan ekonomi yang merosot.
"Jika ekonomi merosot, maka lapangan kerja akan menipis, perusahaan gulung tikar, banyak PHK. Rupiah melemah. Baru ujungnya ke Krisis Ekonomi," kata Ekonom Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Rabu (22/2/2023).
Ronny menjelaskan, kualitas pemerintahan di masing-masing negara menjadi penentu. Hal ini dikarenakan, resesi cenderung lebih bisa diprediksi dan diantisipasi. Tidak seperti krisis ekonomi yang tiba-tiba.
"Biasanya resesi memang predictable, karena sinyalnya bisa dilihat dari historical growth. Kalau krisis agak sulit, bukan berarti tak terprediksi," terang dia.
Advertisement
Resesi Punya Siklus
Tidak hanya itu, resesi juga memiliki siklus. Di mana kondisi ekonomi dunia ada masa ketika bisnis tumbuh, lalu berkembang, sampai pada puncaknya, lalu mulai menurun. Di situlah potensi resesi ekonomi terjadi.
"Ekonomi akan mengikuti, setelah ekonomi tumbuh cukup agresif ada masanya overheating, lalu inflasi, lalu suku bunga dinaikkan. Setelah suku bunga naik biasanya inflasinya mereda, tapi growth-nya juga melambat. Di situlah kita menyebutnya resesi," terangnya.
"Jadi, mengapa kita menyebut resesi global, karena negara-negara besar mengambil arah ke sana untuk melawan inflasi," pungkas dia.