Liputan6.com, Jakarta - Mereka yang baru lulus sering memperdebatkan tentang keseimbangan karier atau work-life balance di masa awal mereka. Dari sisi mereka yang lebih dulu terjun ke bidang profesional, memikirkan dapatkah para lulusan muda tidak memikirkan keseimbangan di awal karir, justru mendedikasikan diri dalam kerja demi menuai hasil di kemudian hari?
Scott Galloway penulis dan profesor Sekolah Bisnis Stern Universitas New York, menjadi viral setelah menulis sentimen tersebut di platform LinkedIn.
Baca Juga
Galloway memberikan pandangannya mengenai keseimbangan kehidupan kerja diakumulasikan dengan modal karir yang hasilnya, melakukan pengorbanan pribadi sejak awal dapat membuat pekerja mencapai keharmonisan di kemudian hari dalam kehidupan profesional mereka.
Advertisement
“Memiliki keseimbangan pada usia saya adalah fungsi dari kurangnya keseimbangan pada usia Anda,” tulisnya.
Pandangan ini tidak bisa disalahkan karena kemungkinan besar mencerminkan pengalaman hidup banyak pekerja Boomer dan Gen-X yang bekerja keras untuk menaiki tangga karier sejak awal dan setelah bertahun-tahun bekerja keras membuat mereka memiliki pengaruh profesional.
Budaya ini pun masih berlanjut di beberapa perusahaan dengan harapan para pekerja muda mampu bekerja untuk membangun keterampilan dan hubungan yang memungkinkan mereka maju.
Namun, setelah melewati masa pandemi ada banyak kesadaran akan kebutuhan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Perdebatan ini bertepatan dengan munculnya gen-Z ke dalam angkatan kerja.
Usaha Melupakan Keseimbangan
Menurut Scott Galloway, jika menginginkan keseimbangan di kemudian hari, tidak seharusnya para pekerja mencari keseimbangan di usia dua puluhan, tetapi justru pengaruh, relevansi, dan keamanan ekonomi.
Pengalaman Galloway sendiri adalah di bank investasi besar. Kadang-kadang dia begadang dan bekerja 30 jam lebih terus menerus.Dalam karier yang kompetitif dan bergaji tinggi seperti keuangan, praktik kerja yang intens seperti itu sering dianggap sebagai ritus peralihan. Tapi dia percaya pekerja di semua karir harus mendapatkan garis kehidupan kerja mereka.
“Setiap anak muda harus realistis tentang modal apa yang mereka perlukan untuk mendukung kehidupan mereka, dan komitmen yang mereka butuhkan ketika masih muda untuk mendapatkannya,” katanya.
Perubahan yang disajikan akibat pandemi ini menawarkan perspektif baru tentang peran pekerjaan dalam kehidupan manusia.
“Ada kesadaran bahwa jam kerja kita tidak masuk akal, dan bahwa pekerjaan hanyalah satu aspek dari kehidupan kita,” kata Laura Giurge, asisten profesor ilmu perilaku di London School of Economics.
Faktanya, meskipun cara kita bekerja mungkin berubah, cara manajer menilai kinerja karyawan mungkin tidak sejalan. Pemberi kerja cenderung mempekerjakan dan memberi penghargaan kepada kandidat yang menghindari keseimbangan.
“Beberapa bos masih mengandalkan metrik performa yang sudah ketinggalan zaman, seperti jam kerja yang panjang dan kecepatan respons, karena sulit untuk mengukur performa dalam ekonomi pengetahuan saat ini,” kata Giurge.
Advertisement
Keseimbangan sebagai investasi
Penilaian perusahaan tersebu tidak berarti diskusi seputar keseimbangan kehidupan kerja tidak akan berdampak.
Seperti Shayla Thurlow, talent acquisition di situs web karier The Muse berkata, “Industri yang mencoba mengikis keseimbangan kehidupan kerja kemungkinan besar akan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam merekrut dan mempertahankan.”
Banyak perusahaan kini menggabungkan strategi terkait work-life balance. Hal ini tergambar dari semakin banyaknya pemberi kerja yang terpaksa menawarkan pengalaman yang akan digemari konsumen, seperti keanggotaan gym dan liburan tanpa batas.
Galloway menyamakan keseimbangan kehidupan kerja dengan investasi: upaya awal dan intens harus diberikan dalam bekerja guna membeli fleksibilitas atau kemudahan saat paling dibutuhkan.