Valuasi Perbankan Global Diproyeksi Tembus USD 7 Triliun

Boston Consulting Group mengatakan dalam laporannya bahwa bank-bank global dapat meningkatkan valuasi mereka sebesar USD 7 triliun dalam 5 tahun ke depan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 16 Jan 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2024, 20:30 WIB
Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Liputan6.com, Jakarta Bank-bank global dapat meningkatkan valuasi mereka sebesar USD 7 triliun dalam lima (5) tahun ke depan, jika mengambil langkah besar untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas.

Hal itu diungkapkan oleh perusahaan konsultan asal Amerika Serikat, Boston Consulting Group (BCG) dalam sebuah laporan baru yang diterbitkan pada Senin, 15 Januari 2024.

Dikutip dari US News, Selasa (16/1/2024) Boston Consulting Group mengatakan dalam laporannya bahwa pemberi pinjaman kira-kira dapat melipat gandakan penilaian mereka saat ini, jika mengejar pertumbuhan dan meningkatkan rasio harga terhadap buku meskipun terdapat hambatan.

"Pendorong pesimisme terbesar terhadap sektor perbankan adalah penurunan profitabilitas yang signifikan," kata BCG.

BCG mencatat, sekitar 75 persen saham bank memiliki rasio harga terhadap buku di bawah 1 pada tahun 2022, sementara kelipatan harga terhadap pendapatan hampir setengah dari tingkat tahun 2008.

Sementara itu, tingkat pengembalian pemegang saham atas saham-saham bank telah tertinggal dibandingkan dengan indeks-indeks pasar utama sejak krisis ini, dan kesenjangan tersebut semakin melebar.

Bahkan jika mereka berinvestasi pada produktivitas dan menyederhanakan bisnis mereka secara besar-besaran, keuntungan bank akan tetap berada di bawah tekanan dari persyaratan modal yang lebih tinggi dan meningkatnya persaingan dari pemain baru seperti fintech, BCG mengingatkan.

"Bank kemungkinan besar tidak akan kembali ke tingkat profitabilitas dan valuasi seperti sebelum krisis keuangan global," kata perusahaan konsultan tersebut.

Tak Mampu Bayar Utang, Raksasa Perbankan China Zhongzhi Enterprise Ajukan Bangkrut

Ilustrasi bank
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Konglomerat perbankan asal China, Zhongzhi Enterprise Group, mengajukan likuidasi kebangkrutan karena gagal bayar utang di tengah krisis real estate yang semakin parah di negara tersebut.

Dikutip dari CNBC International, Selasa (9/1/2024) Zhongzhi Enterprise mengajukan kebangkrutan dengan alasan bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang dan tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar iurannya, menurut pernyataan WeChat yang dikeluarkan oleh Pengadilan Menengah Rakyat Pertama di Beijing.

Bank bayangan di China beroperasi dengan mengumpulkan tabungan rumah tangga dan perusahaan untuk menawarkan pinjaman guna berinvestasi di real estate, saham, obligasi, dan komoditas.

Danai Pengembang Properti

Perusahaan seperti Zhongzhi sering kali mendanai banyak pengembang properti besar di negara itu.

Sebelumnya, pada Agustus 2023 Zhongzhi telah mengungkapkan pihaknya mengalami krisis keuangan. Berita tersebut menyusul laporan terkait perusahaan memberi tahu investor bahwa mereka menghadapi krisis likuiditas.

Zhongzhi kemudian menyatakan kebangkrutan dalam sebuah surat kepada para investornya pada November 2023, tak lama setelah itu polisi Beijing memulai penyelidikan terhadap bank bayangan yang terlilit utang tersebut.

"Meskipun sebagian besar kreditor perusahaan adalah individu kaya dan bukan lembaga keuangan, keruntuhan perusahaan dapat merusak kepercayaan pasar secara umum. Hal ini juga dapat memperbaharui kekhawatiran terhadap industri perwalian dan apakah hal ini akan memiliki implikasi yang lebih luas dan signifikan terhadap industri real estate yang sedang melemah," kata analis di Commerzbank dalam catatan kliennya.

Bank Lain Akan Bangkrut?

Ilustrasi daftar kode bank
Ilustrasi daftar kode bank. (Photo by vectorjuice on Freepik)

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah China telah mencoba membatasi pertumbuhan pesat utang non-bank yang diterbitkan oleh bank bayangan.

Bank-bank terbesar di China merupakan bank-bank milik negara, sehingga menyulitkan perusahaan-perusahaan non-BUMN untuk memanfaatkan bank-bank tradisional untuk mendapatkan pembiayaan, yang telah membantu memacu peningkatan shadow banking.

Sektor properti yang sangat besar di negara itu juga terjebak di tengah tindakan keras terhadap shadow banking yang digunakan oleh perusahaan real estate untuk membeli tanah dari pemerintah daerah.

"Kami tidak mengharapkan dana talangan dari pemerintah karena banyak produk Zhongzhi merupakan produk pengelolaan kekayaan non-standar yang telah lama tidak disarankan atau dilarang oleh regulator China; beberapa di antaranya sebanding dengan skema Ponzi," ucap Zerlina Zeng, analis kredit senior di CreditSights.

"Kita mungkin akan melihat lebih banyak kegagalan pinjaman perwalian karena investasi utamanya adalah kendaraan pembiayaan pemerintah daerah dan utang real estat… pemerintah daerah kemungkinan akan terus memprioritaskan utang publik dibandingkan pinjaman perwalian," Zeng memperingatkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya