Tak Terlibat Susun Aturan Tembakau dan Rokok Elektronik, DPR Murka

Anggota Komisi IX DPR RI ramai-ramai mengemukakan ketidakpuasan mereka terkait proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, atau PP Kesehatan tentang produk tembakau dan rokok elektronik.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 05 Sep 2024, 22:15 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2024, 22:15 WIB
Pemerintah Bakal Larang Penggunaan Rokok Elektrik dan Vape
Seorang pria meneteskan cairan vape atau rokok elektronik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pemerintah melalui BPOM mengusulkan pelarangan penggunaan rokok elektrik dan vape di Indonesia, salah satu usulannya melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IX DPR RI ramai-ramai mengemukakan ketidakpuasan mereka terkait proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, atau PP Kesehatan tentang produk tembakau dan rokok elektronik.

Pasalnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dianggap tidak menepati janjinya dalam memastikan terciptanya keterlibatan publik dan legislatif secara menyeluruh dalam penyusunan aturan ini. Pihak legislator dari berbagai partai mengkritik kurangnya partisipasi DPR dan masyarakat dalam proses perumusan yang dituding dilakukan sepihak oleh Kemenkes.

Anggota Komisi IX dari Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago, menyoroti kurangnya transparansi terkait proses penyusunan dan penjelasan mengenai PP Kesehatan dan peraturan turunannya. Irma juga menegaskan perlunya komitmen Kemenkes untuk melibatkan publik dalam proses pembuatan peraturan.

"DPR berharap agar ke depan, pelibatan publik menjadi prioritas dalam penyusunan peraturan pemerintah," tegas Irma dalam keterangan tertulis, Kamis (5/9/2024).

Kemenkes sendiri target aturan turunan PP Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan rampung di pekan kedua September ini. Namun, Permenkes ini disinyalir memuat ketentuan kemasan polos (plain packaging) untuk produk tembakau dan rokok elektronik, dengan referensi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tidak diratifikasi oleh Indonesia.

Untuk itu, anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS Kurniasih Mufidayati merasa tak puas terhadap penyusunan aturan PP 28/2024. Meskipun ada komitmen untuk melibatkan DPR dalam proses pembuatan PP, pada kenyataannya DPR tidak diundang dalam rapat-rapat terkait.

"Pada tahapan ini, justru kami sebagai perwakilan publik tidak diajak bicara. Saya kira ini jadi catatan dari penyusunan aturan," seru dia.

Kritik senada turut dilemparkan anggota Komisi IX DPR fraksi Partai Golkar, Darul Siska. Ia menyebut Kemenkes tidak memenuhi janji untuk melibatkan DPR dalam penyusunan PP 28/2024.

"Padahal, saat Undang-Undang Kesehatan disusun, Kemenkes telah berkomitmen untuk melibatkan DPR dalam proses penyusunan PP. Namun, PP tiba-tiba dikeluarkan tanpa melibatkan DPR dan menyebabkan banyak keluhan dari masyarakat," tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pengusaha Keluhkan soal Standar Desain Kemasan Polos Dinilai Bisa Picu Rokok Ilegal

Gappri
Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang memuat soal pengaturan desain kemasan menimbulkan penolakan keras dari industri.

Usulan kewajiban penerapan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik itu muncul tanpa dasar hukum yang jelas. Hal tersebut seperti disampaikan Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita.

Pasalnya, lanjut Suryadi, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan maupun aturan turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sama sekali tidak mengamanahkan pengaturan terkait desain dan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik.

"Secara kolektif pemangku kepentingan sektor tembakau telah menolak usulan aturan kemasan polos. Karena memang secara historis Indonesia pernah melakukan gugatan kepada World Trade Organization (WTO) pada 2015 dan itu menjadi satu pertimbangan," ujar Suryadi melalui keterangan tertulis, Kamis (5/9/2024).

Dia menilai, kebijakan kemasan polos pun menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap merek dagang produk tembakau.

Berdasarkan draf tersebut, kata Suryadi, standar desain kemasan produk rokok baik produk konvensional maupun elektronik akan disamakan baik secara warna, desain, maupun font tulisannya.

"Pemilihan warna pantone 448 C sebagai warna yang harus digunakan seluruh produsen ini dirumuskan tanpa berkonsultasi dengan industri. Padahal, salah satu penelitian menyebutkan warna cokelat lumpur tua ini sebagai warna terjelek di dunia yang dapat berdampak negatif terhadap industri," jelas dia.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menambahkan, penyeragaman dari sisi warna dan desain pada kemasan rokok dikhawatirkan mendorong penyebaran rokok ilegal.

 


Bisa Merugikan Banyak Pihak

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Benny menilai, hal tersebut hanya akan merugikan semua pihak, melukai industri lebih jauh, dan di sisi lain penerimaan cukai negara juga akan ikut merosot tajam.

Selain itu, kata dia, tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau yang dicita-citakan oleh Kementerian Kesehatan juga tidak tercapai.

"Ketika rokok legal diatur secara eksesif, nanti rokok ilegal yang akan makin bertebaran di pasaran. Rokok ilegal kan tidak pakai kemasan apa pun, tidak peduli aturan apa pun. Secara umum, makin ketatnya regulasi di sektor ini akan makin berat bagi industri tembakau yang kinerjanya juga sedang tidak baik," ucap Benny.

Ia pun mengingatkan, cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) merupakan penyumbang terbesar penerimaan cukai di Indonesia.

"Hingga Juli 2024, penerimaan cukai rokok tercatat sebesar Rp111,3 triliun," tandas Benny.

 

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya