Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi menyiapkan 35 proyek hilirisasi. Nilai dari proyek-proyek tersebut mencapai USD 123,8 miliar, atau setara Rp 2.025,36 triliun.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi tengah mempersiapkan proyek-proyek tersebut untuk bisa ditawarkan kepada investor.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi dari satgas sudah mengidentifikasi dan menyiapkan, ada 35 proyek dengan nilai sekitar USD 123,8 miliar. Ini kita lagi siapkan, dan koordinasikan dengan kementerian/lembaga," ujar Yuliot Tanjung saat ditemui di Kantor ESDM, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Advertisement
Yuliot menyampaikan, beberapa proyek hilirisasi yang disiapkan mencakup berbagai komoditas strategis di sektor energi. Mulai dari batu bara, minyak dan gas bumi.
Selain itu, ada juga produk oleochemical yang akan diberikan untuk sektor pertanian. Di sisi lain, pemerintah juga tetap mengutamakan ketahanan energi melalui percepatan bauran energi.
"Jadi dengan adanya persiapan proyek-proyek yang siap ditawarkan itu mudah-mudahan bisa segera kita tawarkan pada investor," kata Yuliot.
Dalam rangka percepatan program hilirisasi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah mewajibkan perbankan untuk ikut mendanai program hilirisasi. Kewajiban ini didorong tak hanya untuk bank BUMN, tapi juga swasta.
Ketua Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi ini bilang, kredit pembiayaan untuk hilirisasi ini didorong agar nilai tambah dari program prioritas tersebut tetap berputar di dalam negeri.
"Kami sudah memulai, secara informal sudah kita komunikasikan. Mau tidak mau perbankan dalam negeri yang harus membiayai proyek hilirisasi," tegas Bahlil usai rapat perdana Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi di Kantor Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.
Â
Â
Â
Janji Balik Modal Cepat
Kepada perbankan, ia pun menjanjikan proyek hilirisasi punya waktu balik modal (break even point) lebih cepat dibanding sektor konsumsi.
"Ngapain perbankan membiayai proyek konsumsi yang 9-10 tahun break even point. Kalau hilirisasi yang 6 tahun break even point, ngapain kasih kredit stand by loan kepada perusahaan yang lama-lama itu," bebernya.
Bahlil menggarisbawahi bahwa bukan berarti pinjaman untuk perusahaan lain tidak penting. Namun, program hilirisasi pun tak kalah penting lantaran punya multiplier effect besar.
"Mereka, perusahaan-perusahaan lama-lama itu penting, tapi juga penting untuk melakukan diversifikasi," kata Bahlil.
Â
Â
Advertisement
Tak Perlu Bunga Murah
Sebelumnya, Bahlil mengklaim bahwa proyek hilirisasi tidak memerlukan fasilitas bunga rendah. Pasalnya, imbal hasil investasi alias Internal Rate of Return (IRR) di sektor hilirisasi dijamin menguntungkan.
"(Peluang bunga murah?) nah ini tergantung IRR. IRR dalam hilirisasi itu kan bagus semua, rata-rata di atas 11-12 persen," ungkapnya beberapa waktu lalu.
Dia menegaskan, dengan besaran itu, maka proyek hilirisasi menguntungkan dan tidak perlu adanya intervensi dengan bunga murah..
"Kalau 11-12 persen IRR saya pikir enggak perlu ada intervensi bunga, bagus kok ini. Ada smelter nikel itu NPI kan 4-5 tahun BEP, ngapain pake intervensi bunga?" pungkasnya.
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)