5 Mantan Atlet Top Indonesia yang Terlupakan

Atlet Indonesia kesulitan menyambung hidup meski berprestasi di olahraga.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 25 Mar 2017, 19:30 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2017, 19:30 WIB
Ilustrasi Lari
Ilustrasi lari (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Olahraga memberi kesempatan bagi Indonesia untuk hadir di pentas internasional, seperti SEA Games. Peluang tersebut pun tidak disia-siakan.

Banyak atlet Tanah Air yang berprestasi dan mengalahkan wakil negara lain. Indonesia pun dikagumi hingga disegani.

Sayang, jasa mereka hilang ditelan waktu. Para atlet tersebut terlupakan begitu meninggalkan dunia yang membesarkan nama mereka dan negara.

Kenyataannya, prestasi mereka tidak mampu menjamin kehidupan sendiri. Apresiasi bagi mereka yang sudah berjasa bagi bangsa dan negara masih minim.

Pada akhirnya, para atlet tersebut kesulitan menghidupi diri. Mereka harus menelan harga diri demi menyambung hidup.

Siapa saja para mantan atlet yang pernah mengharumkan Indonesia itu? Dan apa aktivitasnya sekarang? Berikut lima mantan atlet top Indonesia yang terlupakan, seperti diambil dari berbagai sumber:

Denny Thios

Tidak banyak yang tahu siapa Denny Thios. Ironis, karena dia mencetak prestasi luar biasa di cabang angkat berat.

Setelah menduduki peringkat kedua PON XII 1989, Denny membawa pulang medali emas kejuaraan dunia di Inggris, dan Swedia. Tidak hanya itu, dia juga pernah memecahkan tiga rekor dunia.

Sayang, deretan prestasi itu tidak berarti apa-apa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Denny bekerja sebagai tukang las di sebuah bengkel kecil yang dimilikinya di Makassar. Penghasilannya tak menentu.

Marina Segedi

Merupakan salah satu andalan Indonesia di ajang bela diri. Marina mempersembahkan medali emas dari cabang pencak silat di SEA Games 1981 di Filipina.

Namun, kehidupannya berubah 180 derajat begitu pensiun. Hidupnya terbilang pas-pasan. Tidak memiliki rumah, dia terpaksa tinggal bersama ibunya. Marina juga harus bekerja sebagai seorang supir taksi.

Beruntung, dia bertemu dengan pegawai Kemenpora bernama Karsono pada 2011. Dari situ dia tahu seorang atlet yang pernah mengharumkan Indonesia bisa mendapatkan tunjangan dari pemerintah.

Pada 9 September 2011, Marina akhirnya menerima tunjangan tempat tinggal dari Kemenpora setelah mengikuti prosedur, yaitu menunjukkan bukti medali, piagam penghargaan, dan dokumentasi lainnya.

Leni Haini

Banyak prestasi tercatat atas nama Leni. Dia membawa Indonesia merebut dua medali emas dalam kejuaraan perahu naga Asia di Singapura, tiga medali emas dan satu perak di kejuaraan dunia perahu naga di Hong Kong, serta satu emas pada kejuaraan perahu naga Asia di Taiwan.

Sayang, prestasi tersebut tidak berarti apa-apa. Terlebih melihat perjalanannya.

Leni masih duduk di sekolah menengah ketika mengikuti pelatihan nasional. Dia diminta fokus ke olahraga, meski beberapa kali menanyakan status pendidikannya. Leni tenang karena dijanjikan mengikuti sekolah setelah selesai berkompetisi.

Ketika Leni meninggalkan pelatnas di usia 22 tahun, kepengurusan sudah berganti dan tidak mempedulikan nasib pendidikannya. Hanya dengan berbekal ijazah SD dan kejar paket B, dia kesulitan mendapatkan pekerjaan dan akhirnya menjadi buruh cuci.

Tidak hanya itu, salah satu putrinya menderita penyakit langka hingga harta miliknya harus dijual. Saking frustasinya, Leni sempat berniat piagam penghargaan yang dimiliki.

Hapsani

Ilustrasi lari (iStockphoto)

Hapsani merupakan atlet lari estafet 4×100 meter. Dalam ajang kompetisi SEA Games 1981 dan 1983, dia meraih medali perak dan perunggu.

Waktu berputar, Hapsani kesulitan menghidupi diri. Dia akhirnya terpaksa menjual medali tersebut ke pasar loak di Jatinegara untuk membeli bahan makanan pada 1999.

Pada saat itu, suami Hapsani menganggur dan hanya bekerja serabutan. Sementara Hapsani, yang sudah berusia 50-an, mencari penghasilan tambahan menjadi pelatih atletik untuk anak-anak di sekitar rumahnya.

Suharto

Seorang atlet balap sepeda yang memenangkan medali emas di SEA Games Thailand 1979. Dia mencapainya bersama Sutiono, Munawar dan Dasrizal di nomor team time trial jarak 100 km.

Tidak hanya itu, Suharto juga merebut dua medali perak untuk nomor jalan raya individu dan beregu.

Begitu pensiun, Suharto kembali mengayuh sepeda. Tapi bukan sepeda roda dua. Demi menyambung hidup, dia menghabiskan masa tuanya sebagai seorang tukang becak di Surabaya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya