3 Kesenjangan Kerja yang Dialami Penyandang Disabilitas

Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) mengatakan, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memicu kesenjangan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 11 Sep 2021, 15:43 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2021, 13:00 WIB
Webinar PPDI
Perwakilan dari ASEAN Intergovernmental Commisssion on Human Rights (AICHR), H.E Yuyun Wahyuningrum (kiri) dan Representasi Indonesia pada ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), Yanti Kusuma (kanan) ketika memberikan pemaparan. dok.pribadi

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) mengatakan, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memicu kesenjangan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas.

"Kesenjangan keterampilan yang dimiliki, rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas, dan masih banyaknya sikap serta praktik diskriminatif di masyarakat dan lingkungan kerja terhadap penyandang disabilitas," katanya, melalui keterangan pers, Sabtu (11/9/2021).

Lebih jauh lagi beliau menyampaikan, penggunaan Surat Keterangan Sehat yang selama ini sangat ditakuti oleh penyandang disabilitas juga memicu kesenjangan. Sebab berpotensi mengagalkan calon tenaga kerja penyandang disabilitas karena dengan surat tersebut penyandang disabilitas dianggap tidak sehat secara jasmani maupun rohani.

"Fungsi surat ini diubah menjadi surat keterangan untuk menentukan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas agar dapat bekerja secara optimal," ujarnya.

 

Rendahnya akses pendidikan pada kesempatan kerja

Jumlah penyandang disabilitas dunia menurut World Health Organization (WHO) ialah 15% dari total jumlah penduduk dunia, sementara di Indonesia menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2018 ada 14,2% penduduk Indonesia atau 30,38 juta jiwa yang menyandang disabilitas. 

Data terbaru dari kajian terhadap indikator kesejahteraan rakyat yang dipublikasikan oleh BPS pada tahun 2020, menunjukan bahwa masih terjadi kesenjangan pendidikan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas dan ketimpangan yang terjadi semakin dalam seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan.

Secara umum pada tahun 2019, persentase anak berumur 16-18 tahun baik disabilitas maupun non disabilitas yang mengikuti pendidikan SMA/sederajat mencapai 72,36%  namun hanya sekitar 43,61% dari anak penyandang disabilitas yang mempunyai peluang sampai kejenjang pendidikan ini.

Rendahnya akses pendidikan penyandang disabilitas ini berdampak langsung terhadap kesempatan kerja. Hingga saat ini kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan di sektor formal masih menghadapi tantangan dan permasalahan, baik dari sisi internal penyandang disabilitas sendiri maupun dari eksternal berupa diskriminasi ketenagakerjaan.

Hal ini mengakibatkan rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Kondisi ini mendorong penyandang disabilitas lebih banyak bekerja disektor informal yang saat ini lebih rentan terpuruk lebih dalam secara ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Merespons kesenjangan akses pendidikan yang masih cukup tinggi, representasi Indonesia pada ASEAN Commission on Women and Children (ACWC) Yanti Kusumawardhani untuk Hak Anak menyatakan pentingnya kebijakan yang tepat, komitmen yang kuat dan kontribusi peran berbagai pihak terkait untuk menjamin kesetaraan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas.

“Pemerintah bersama stakeholder terkait perlu bersama-sama memastikan dan menjamin kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan sehingga mereka dapat mengakses kesempatan kerja yang lebih baik dimasa mendatang”, tegasnya.

 

Sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2020

Untuk mendorong pemenuhan kuota ini, Fungsional Pengantar Kerja Ahli Muda, Ditjen Binapenta dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kemenaker R.I Suhardi, mengatakan saat ini pemerintah  terus mensosialisasikan dan mendorong implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan.

"ULD Bidang Ketenagakerjaan merupakan pelaksanaan Pasal 55 UU No 8/2016, yang penyelenggaraannya menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kemenaker RI telah menyelenggarakan rapat koordinasi secara masif di 10 provinsi di Indonesia untuk mendorong komitmen pemerintah daerah mempercepat penyelenggaraan ULD bidang Ketenagakerjaan ini," katanya.

Upaya memperkuat akses kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas melalui penyelenggaraan ULD Bidang Ketenagakerjaan diharapkan menghilangkan stigma negatif bahwa penyandang disabilitas tidak mampu bekerja dan tidak produktif, membantu dunia usaha menemukan tenaga kerja penyandang disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan, serta memperkuat ketersediaan data dukung supply dan demand bagi tenaga kerja penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan yang layak 

Selaras dengan itu, untuk mengatasi persoalan stigmatisasi dan diskriminasi dalam dunia kerja, dibutuhkan upaya keras untuk mendorong pemenuhan kuota kerja bagi disabilitas sebesar 1% di perusahaan swasta sesuai dengan amanat Pasal 53 UU No. 8/2016.

Direktur Trade Union Rights Center (TURC), Andriko Otang menekankan urgensi sinergi multipihak dalam pemenuhan kuota ini sebagai bentuk komitmen para aktor dalam hubungan industrial bersama-sama mewujudkan dunia kerja yang layak, inklusif, dan berkeadilan. Konkretnya, ia melihat peluang kolaborasi organisasi disabilitas, masyarakat sipil, dan serikat pekerja untuk mengadvokasi isu disabilitas masuk dalam perjanjian kerja bersama yang disepakati dengan perusahaan.

 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya