Liputan6.com, Jakarta Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2025-2030 pada Kamis, 20 Februari. Ucapan selamat pun datang dari ketua organisasi disabilitas Sidoarjo, Lira Disability Care (LDC), Abdul Majid.
Melalui keterangan tertulis, Majid pun menekankan urgensi revisi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur tentang Disabilitas yang dinilai sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Advertisement
Baca Juga
“Kami ucapkan selamat atas dilantiknya Ibu Khofifah dan Mas Emil sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2025-2030. Namun, untuk mewujudkan Jawa Timur yang inklusif, revisi Perda Disabilitas Jatim tahun 2013 yang sudah kedaluwarsa harus secepatnya dilakukan,” kata Majid dalam keterangan tertulis yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Jumat (21/2/2025).
Advertisement
“Perda ini sudah kedaluwarsa dan belum mengakomodir prinsip-prinsip hak penyandang disabilitas sesuai UU No. 8/2016,” tambahnya.
Ia menjelaskan, perda nomor 3 tahun 2013 tentang perlindungan dan pelayanan penyandang disabilitas Jawa Timur tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum nasional. UU No. 8/2016, misalnya, mengamanatkan pemenuhan hak disabilitas di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, aksesibilitas, serta partisipasi politik. Sementara Perda Jatim saat ini dinilai masih bersifat parsial dan minim implementasi.
“Harmonisasi Perda dengan UU ini krusial sebagai dasar hukum yang kuat. Tanpa itu, kebijakan inklusif di tingkat daerah akan sulit diwujudkan,” tambah mahasiswa magister kebijakan publik Universitas Airlangga Surabaya itu.
Perwakilan Penyandang Disabilitas Jawa Timur Perlu Dilibatkan
Pria penyandang disabilitas sensorik netra itu juga meminta agar segenap unsur perwakilan penyandang disabilitas Jawa Timur dapat dilibatkan secara penuh dan bermakna agar dapat mengakomodasi semua aspirasi dari akar rumput.
Selain revisi Perda, LDC mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Timur segera menerbitkan peraturan turunan, seperti Peraturan Gubernur (Pergub) atau Perda teknis, untuk menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Misalnya, regulasi tentang kuota pekerja disabilitas di sektor formal, standar aksesibilitas fisik dan non-fisik, serta mekanisme pengaduan bagi korban diskriminasi.
Advertisement
Harap Gubernur dan Wagub Jatim Prioritaskan Isu Disabilitas
Alumni Australia award scholarship itu berharap kepemimpinan Khofifah-Emil di periode kedua dapat memprioritaskan isu disabilitas.
“Kami siap berkolaborasi untuk menyusun kebijakan yang progresif. Jawa Timur harus menjadi contoh provinsi inklusif, di mana disabilitas tidak hanya dilindungi, tetapi juga diberdayakan,” ujarnya.
“Revisi Perda dan terbitnya regulasi turunan adalah langkah awal untuk memastikan tidak ada lagi masyarakat yang tertinggal. Selamat bertugas, Ibu Khofifah dan Pak Emil. Kami akan terus mengawal komitmen ini,” pungkasnya.
Alasan Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 Tahun 2013 Dinilai Tak Relevan
Sebelumnya, dalam memastikan rancangan peraturan daerah atau Raperda Disabilitas di Jawa Timur terealisasi dengan baik, Lembaga Bantuan Hukum Disabilitas Indonesia (LBHDI) telah menggelar uji publik.
Uji publik ini diikuti oleh sekitar 143 penyandang disabilitas dan jaringannya. Raperda dimaksudkan untuk menggantikan Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 Tahun 2013 yang dinilai sudah tak relevan.
“Dari hasil beberapa pertemuan dan kajian, kesimpulannya adalah Perda Disabilitas Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 sudah tidak relevan dan harus diganti,” kata Plt. Direktur LBH Disabilitas Indonesia (LBHDI), Ajeng Linda Liswandari, Sabtu 28 Oktober 2023, mengutip keterangan resmi.
Untuk itu, lanjut Ajeng, uji publik daring ini digelar dengan melibatkan jaringan penyandang disabilitas se-Jawa Timur. Tujuannya agar adanya Raperda benar-benar mengakomodasi persoalan, praktik baik dan usulan penyandang disabilitas.
Hal ini diaminkan oleh Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum LBHDI Tri Eva Oktaviani.
“Perda Disabilitas Jatim tahun 2023 masih mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,” ujar Eva.
Eva menjelaskan, Keberadaan penyandang disabilitas dalam undang-undang tersebut masih sebagai objek hukum. Sedangkan, dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas telah diakui sebagai subjek hukum yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai warga negara yang setara dengan warga lainnya.
Advertisement
