Liputan6.com, New Delhi - Kali pertama dalam 100 tahun terakhir, populasi harimau meningkat. Sebagian orang mungkin menganggap ini mengerikan, namun bagi sejumlah suku di India itu adalah kabar gembira.
Sensus global terakhir menunjukkan, saat ini populasi kucing terbesar itu mencapai 3.890 ekor dibanding 2010 yang hanya berjumlah 3.200 ekor. Demikian seperti dilansir BBC, Jumat (10/6/2016).
Baca Juga
Di balik sejumlah faktor peningkatan populasi itu, diyakini ada satu faktor kunci, yaitu manusia menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan harimau.
Bicara tentang harimau maka tak elok rasanya jika tak menyinggung India. Negara yang dijuluki Hindustan itu merupakan rumah bagi setengah populasi harimau dunia.
Meski dikenal sebagai hewan buas, namun sejumlah suku lokal di India terlihat cukup menikmati hidup berdampingan dengan mereka. Tak jarang, suku-suku itu bahkan menolong keberlangsungan hidup harimau.
Organisasi yang bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat, Survival International, mengatakan 'masyarakat adat adalah konservasionis terbaik dan wakil alam'. Pernyataan itu sangat serius, namun mereka memiliki buktinya.
Desember 2015, Survival International merilis data tentang harimau yang hidup di BRT Wildlife Sanctuary -- sebuah taman nasional yang terletak di Ghats, India Barat.
Antara 2010 dan 2014 populasi harimau naik hampir dua kali lipat. Laju pertumbuhan harimau di kawasan ini bahkan lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan rata-rata masyarakat India. Binatang buas itu kabarnya hidup di hutan bersama suku asli, Soliga.
Advertisement
Suksesnya konservasi harimau ini tak terlepas dari keyakinan Suku Soliga yang melihat harimau sebagai dewa. "Kami menyembah harimau sebagai dewa," ujar salah seorang suku Soliga.
"Sampai saat ini belum ada satu konflik pun yang terjadi antara harimau dan suku Soliga atau perburuan di sini," imbuhnya.
Ia pun menegaskan hubungan persahabatan sukunya dengan para harimau. "Kami telah melihat orang-orang keluar masuk (wilayah konservasi) demi harimau. Jika Anda menyingkirkan kami maka Anda menyingkirkan harimau," jelas salah seorang suku Soliga.
Sebuah laporan yang dirilis pada Mei 2016 menyebutkan, suku lokal yang tinggal di dekat Bor Wildlife Sanctuary -- taman nasional -- di Maharashtra sangat toleran terhadap harimau. Ini dimungkinkan karena mereka penganut vegetarian sehingga tidak berkepentingan untuk berburu binatang liar.
Sementara bagi sekawanan harimau masih ada begitu banyak binatang lain untuk diburu dan disantap. Anehnya, penduduk desa yang bermata pencarian bertani itu justru senang jika harimau 'bertandang' ke ladang mereka sehingga mencegah para pencuri datang.
Begitu juga peternak sapi yang sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran harimau. Karena dapat membantu mereka menghalau para pencuri ternak.
Namun berbeda dengan Suku Soliga, warga yang hidup di dekat Bor Wildlife Sanctuary pernah berkonflik dengan harimau. Peristiwa itu menyebabkan sejumlah orang tewas dan beberapa hewan ternak mati.
Insiden itu pun bahkan tidak mampu menimbulkan jarak antara mereka dan harimau. Sama seperti Suku Soliga, harimau pun disucikan di daerah ini. Masyarakat lokal percaya bahwa kucing raksasa itu adalah binatang yang ditunggangi Dewi Durga.
Meski kisah 'persahabatan' manusia dan harimau ini berhasil menaikkan populasi hewan itu, sayangnya suku-suku asli banyak yang diusir dari kawasan konservasi tersebut.
"Bagi saya ini sebuah ironi bahwa konservasionis tidak menyadari satu-satunya tempat di mana harimau bertahan adalah di tempat yang sama di mana mereka mengusir suku-suku itu," ujar Sophie Grig dari Survival International.
Pengusiran terhadap sejumlah suku yang hidup di wilayah konservasi ini mencuat sebagai isu yang kontroversial.
Pada 1980-an, sejumlah orang Gujjar yang hidup di kawasan konservasi di utara India direlokasi ke tempat lain. Seorang peneliti, Abishek Harihar dari University of Kent sempat mewawancarai seorang Gujjar, ia menanyakan pendapatnya tentang relokasi tersebut.
"Setelah melihat kehidupan keluarga mereka yang jauh lebih baik ketika memutuskan tinggal di luar hutan, mereka bersedia direlokasi," jelasnya.
Tak dapat dipastikan apakah pola yang sama akan terjadi pada suku-suku asli di kawasan lainnya. Sementara di sisi lain terdapat kekhawatiran bahwa jika suku asli bertahan bukan tidak mungkin perburuan liar akan terjadi.
"Ada semakin banyak kasus di mana warga Gujjar telah meracuni bangkai kerbau untuk membunuh harimau, dan menjual kulit dan tulang mereka," tutur Harihar.
Memang bukan hal yang mudah untuk memutuskan hidup dengan hewan yang bisa saja membunuh ternak bahkan mengancam nyawa sendiri. Namun membiarkan masyarakat lokal untuk mengelola tanah leluhur mereka sendiri dapat menjadi solusi utama untuk menjaga populasi hewan langka, termasuk harimau.