Perangi Kerja Lembur, Gubernur Tokyo Minta PNS Pulang Pukul 20.00

Gubernur Tokyo, Yuriko Koike memerintahkan seluruh pegawai pemerintahan berhenti lembur. Tim Pencegahan Lembur pun dibentuk. Ada apa?

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Sep 2016, 10:08 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2016, 10:08 WIB
Gubernur perempuan pertama Tokyo, Yuriko Koike
Gubernur perempuan pertama Tokyo, Yuriko Koike (Reuters)

Liputan6.com, Tokyo - Gubernur baru Tokyo, Yuriko Koike memerintahkan seluruh pegawai pemerintahan berhenti bekerja pada pukul 20.00 waktu setempat. Tak ingin kebijakannya dianggap main-main, Koike bahkan menyiapkan tim pencegahan lembur.

Seperti dilansir Telegraph, Minggu (18/9/2016) gubernur perempuan pertama Tokyo yang terpilih pada Agustus lalu itu mengatakan, jam kerja yang berlebihan adalah persoalan klasik masyarakat Jepang. Hal tersebut berkontribusi pada isu kesehatan dan kurangnya waktu bersama keluarga.

Tim pencegahan lembur nantinya akan dibentuk pada setiap departemen di pemerintah daerah Tokyo yang saat ini memiliki sekitar 170 ribu pegawai. Salah satu upaya untuk 'mengusir' pekerja, termasuk yang paling rajin sekali pun adalah dengan mematikan seluruh lampu di kantor.

"Siapa pun yang tidak meninggalkan meja pada pukul 20.00 akan dikenakan 'pengawasan ketat'," ujar Gubernur Koike.

Dalam sebuah wawancara dengan Fuji TV, Koike mengungkapkan harapannya agar kebijakannya dapat diikuti sektor swasta dan kota-kota lain di Jepang.

Menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, pegawai di Jepang memiliki waktu kerja 33.25 jam per minggu. Jumlah ini satu jam lebih banyak dibanding pekerja di Inggris.

Di Jepang selama ini berlaku 'layanan lembur' di mana para pegawai bekerja melampaui waktu yang seharusnya tanpa mendapat bayaran lembur.

Layanan lembur telah lama dipraktikkan di Jepang, namun hal tersebut semakin populer menyusul lesunya perekonomian nasional Negeri Matahari Terbit itu--kondisi ini membuat para pegawai merasa cemas dengan masa depan mereka.

Kurang lebih selama seperempat abad terakhir sejak gelembung ekonomi atau economic bubble Jepang 'pecah', jam kerja yang panjang, lembur yang tidak dibayar, masa libur yang lebih pendek, dan fasilitas yang lebih sedikit telah menjadi sesuatu yang normal di lingkungan kerja. Sementara rentang 12 jam bekerja dianggap normal.

Masalah-masalah di atas telah menimbulkan apa yang disebut oleh masyarakat Jepang sebagai 'karoshi'--istilah meninggal dunia yang disebabkan oleh terlalu banyak pekerjaan. 

Data statistik pemerintah menunjukkan bahwa kasus karoshi melonjak cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja antara 2004 dan 2008 terdapat 1.576 kasus.

Analis menekankan persoalan ini semakin diperparah dengan fenomena kurangnya tenaga kerja di sejumlah sektor seperti kesehatan, layanan sosial, dan konstruksi.

Berdampak Pada Jumlah Populasi

Terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja diyakini pula sebagai faktor penting di balik penurunan angka kelahiran di salah satu negeri kerajaan tertua di dunia itu.

Sejumlah ahli turut pula menyalahkan beberapa organisasi seperti Asosiasi Keluarga Berencana, terkait dengan menyusutnya populasi di Jepang.

Di Jepang, 12 jam adalah waktu kerja yang normal (AFP)

Selama ini organisasi tersebut mengampanyekan bahwa jika meninggalkan kantor lebih awal, mereka akan kurang lelah, menghabiskan waktu dengan pasangan mereka sehingga mau tidak mau akan memiliki anak lagi.

Belum lama ini penelitian di Tohoku University bahkan menyebutkan pada 16 Agustus 3766, Jepang hanya akan dihuni satu penduduk--akibat dari menurunnya angka kelahiran.

Saat ini pemerintah Jepang dilaporkan tengah menyusun revisi undang-undang yang memaksa karyawan perusahaan, untuk mengambil semua hari libur yang menjadi hak mereka.

Data Departemen Kesehatan, Perburuhan, dan Industri menunjukkan hanya 48,8 persen pekerja yang menikmati cuti tahunan mereka sementara pada 2020 pemerintah menargetkan 70 persen.

Penelitian yang dilakukan Japan Institute for Labour Policy Training menemukan, 60 persen pekerja menolak mengambil cuti tahunan dengan alasan 'tidak nyaman dengan rekan-rekan mereka'. Sementara 53 persen lainnya mengklaim tidak memiliki waktu berlibur karena beban kerja yang berat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya