Liputan6.com, Washington, DC - Calon presiden Amerika Serikat (AS) asal Partai Republik, Donald Trump mengatakan jika kelak terpilih ia akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal tersebut disampaikan Trump dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang berlangsung di Trump Tower, New York.
Seperti dilansir Reuters, Senin (26/9/2016) pada kesempatan tersebut Trump menegaskan di bawah pemerintahannya, AS akan mengakui bahwa Yerusalem sepenuhnya milik Israel tanpa terbagi dengan pihak mana pun.
Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu, Trump disebut sependapat dengan Netanyahu bahwa perdamaian di Timur Tengah dapat tercapai apabila Palestina dapat meninggalkan kebencian dan kekerasan serta menerima Israel sebagai Negara Yahudi.
Advertisement
"Trump mengakui bahwa Israel dan rakyatnya telah menderita terlalu lama di garis depan terorisme. Dia setuju dengan PM Netanyahu bahwa masyarakat Israel menginginkan perdamaian yang adil dan abadi dengan tetangga mereka, namun perdamaian hanya akan datang ketika Palestina meninggalkan kebencian dan kekerasan serta menerima Israel sebagai Negara Yahudi," ujar tim kampanye Trump seperti dikutip dari CNN.
"Akhirnya, Trump mengakui bahwa Yerusalem telah menjadi telah menjadi ibu kota abadi kaum Yahudi selama lebih dari 3.000 tahun dan AS di bawah kepemimpinan Trump akan menerima mandat Kongres lama untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi-bagi," imbuh pernyataan tersebut.
Keduanya dilaporkan juga membahas secara panjang lebar terkait pagar perbatasan Israel yang dinilai cukup berhasil mengamankan perbatasan di mana jika kelak terpilih Trump akan menjalankan kebijakan serupa. Ia bertekad membangun tembok perbatasan AS-Meksiko dan melarang muslim memasuki Negeri Paman Sam.
Pertemuan keduanya yang memakan waktu lebih kurang lebih 90 menit tersebut juga menyinggung soal ekonomi bioteknologi Israel dan kemajuan pertahanan siber.
Trump dan Netanyahu juga membahas sejumlah isu lain seperti ISIS, bantuan militer AS ke Israel yang diberi kode dengan 'investasi yang sangat baik' serta nuklir Iran.
Bertemu Hillary
Setelah bertandang ke Trump Tower, PM Israel tersebut melanjutkan agendanya, yakni bertemu dengan Hillary Clinton. Pertemuan keduanya berlangsung pada Minggu malam waktu setempat di W Hotel di Union Square.
Menurut salah seorang asisten senior Hillary, dalam kesempatan tersebut keduanya membahas MoU pertahanan AS-Israel yang belum lama ini ditandatangani demi memperkuat hubungan pertahanan dan intelijen kedua negara.
Hillary juga menekankan komitmennya untuk melawan upaya mendelegitimasi Israel termasuk melalui Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) --sebuah gerakan untuk mengakhiri dukungan internasional atas penindasan Israel terhadap Palestina serta menekan negara itu mematuhi hukum internasional.
Netanyahu dan Hillary juga membahas kesepakatan nuklir Iran--sesuatu yang ditentang Israel serta sejumlah isu regional lainnya termasuk perang saudara yang tengah berlangsung di Suriah. Perundingan damai Israel dan Palestina yang terhenti.
"Hillary menegaskan kembali komitmennya terkait dengan solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina yang dinegosiasikan langsung oleh pihak-pihak yang dapat menjamin masa depan Israel sebagai negara Yahudi yang aman dan demokratis dengan perbatasan yang diakui serta memberikan rakyat Palestina kemerdekaan, kedaulatan, dan martabat," tegas asisten senior Hillary.
Disebutkan lebih lanjut, Hillary juga kembali menegaskan penolakannya terhadap setiap upaya pihak luar untuk memaksakan solusi lain termasuk Dewan Keamanan PBB.
Pertemuan Hillary dan Netanyahu berlangsung lebih singkat dibanding pertemuan PM Israel itu dengan Trump. Kunjungan Netanyahu ke New York ini bertujuan untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB di mana pekan lalu ia sempat pula melakukan pembicaraan bilateral dengan Presiden Barack Obama di Gedung Putih.
Hillary dan Trump bertemu Netanyahu jelang debat perdana keduanya yang akan berlangsung pada 26 September waktu setempat di Hofstra University, Hemstead, New York. Dalam jajak pendapat selama dua pekan terakhir Trump dilaporkan mampu mengungguli mantan ibu negara AS itu.