Liputan6.com, Jakarta Pada usia 3 tahun, Bethany Thompson didiagnosis menderita tumor otak. Sekecil itu, ia harus berjuang hidup dengan menjalani perawatan radiasi. Meski sejak tahun 2008 dinyatakan bebas dari kanker, pengobatan yang dijalaninya mengubah senyuman gadis cilik itu.
Senyumnya yang tak lurus, juga rambutnya yang keriting, membuatnya menjadi korban bullying.
Baca Juga
Pada usia 11 tahun, Bethany mengaku tak tahan lagi. Hinaan dan ejekan yang diarahkan padanya sudah keterlaluan dan melukai jiwanya.
Advertisement
Sang ibu, Wendy Feucht, menceritakan bahwa setelah jadi korban olok-olok pada Rabu, 19 Oktober 2016, kepada sahabatnya, Bethany mengaku tak sanggup lagi. Ia berniat bunuh diri.
Hari itu juga, siswi kelas 6 asal Cable, Ohio, itu mengakhiri hidupnya.
Sebelumnya, ayah sahabatnya berupaya menghubungi ibu Bethany untuk memberitahukan rencana mengerikan itu. Namun, terlambat.
Bethany menemukan senjata yang disimpan di dalam rumahnya. Lalu dengan sekali tembakan, hidupnya berakhir. Ayah tirinya sedang tertidur kala itu.
Wendy Feucht mengatakan, Bethany mungkin mencari keberadaan senjata itu. Padahal, ia dan pasangannya berusaha menyimpannya secara rahasia dan tak pernah memberitahukan pada anak-anak mereka.
"Bagian dari diriku kini hilang. Sebuah hal berharga yang kumiliki selama 12 tahun dan kini terenggut. Tak ada apa pun yang bisa mengisi lubang itu," kata Feucht, seperti dikutip dari CNN, Selasa (1/11/2016).
"Dia adalah putriku, anak perempuanku tersayang. Hidupku berpusat pada dirinya," kata ayah kandung Bethany, Paul Thompson.
Kepolisian Champaign County Sheriff mengaku pihaknya menangani kematian tersebut sebagai kasus dugaan bunuh diri.
Keluarga dan teman-temannya mengenang mendiang sebagai sosok baik hati, penyayang, dan bersemangat. Ia suka berenang, memelihara hewan, dan mendengarkan musik.
Investigasi Pihak Sekolah
Sementara, sekolah tempat Bethany menuntut ilmu, Triad Middle School sedang menyelidiki dugaan bullying itu. Dua hari sebelum kejadian, ibu korban sudah bicara pada kepala sekolah.
"Harus ada yang berubah, ada sistem yang rusak, dan seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk menanganinya," kata Feucht.
Kepala Sekolah Triad School District, Chris Piper mengonfirmasi, sekolah tahu soal adanya bullying.
"Tahun ajaran lalu, pengawas distrik menginvestigasi keluhan yang diajukan siswa dan menyelesaikan dengan tepat," kata Piper. "Triad Local School District melakukan upaya pelatihan anti-pelecehan dan anti-perundungan untuk staf dan murid."
Bethany belajar di sekolah Triad hampir seumur hidupnya. Saat keluarga mempertimbangkan memindahkannya ke tempat lain, sang ibu berpendapat, akan lebih aman putrinya sekolah di tempat yang mengenalnya dan mengetahui kisahnya.
Ia mengatakan sempat menemui pembimbing konseling untuk meminta nasihat tentang cara mengatasi rendah dirinya dan mengatasi segala penghinaan yang diterima.
Meski mendapatkan dukungan dari teman-temannya, ternyata itu tak lantas menjauhkan Bethany dari bullying. Sejumlah anak laki-laki di kelasnya terus mengolok-oloknya.Â
Bethany dan teman-temannya sempat mendatangi pengawas sekolah. Mereka meminta izin memasang poster-poster anti-intimidasi pada hari terakhir gadis cilik itu di sekolah. Misalnya yang bertuliskan "Buddies, not bullies" (teman, bukan pengganggu). Namun, mereka tak diizinkan menggunakannya.Â
Pascakematian Bethany, ratusan orang menunjukkan simpati, dengan memberikan sejumlah uang untuk biaya pemakaman. Keluarga berencana untuk menggunakan sisanya untuk dana beasiswa atas nama Bethany serta untuk meningkatkan kesadaran anti-intimidasi.
Sang ibu berharap, kematian tragis putrinya bisa menjadi pengingat akan pentingnya kebaikan dan tak menoleransi bullying.
"Jika kematiannya bisa menghentikan bullying, putriku pasti akan senang," kata Feucht.