Liputan6.com, Washington, D. C. - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengutuk serangan senjata kimia mematikan di Idlib, Suriah. Trump menyebut serangan itu sebagai 'hinaan bagi kemanusiaan'.
Pernyataan Presiden Trump diungkapkan dalam konferensi pers saat kunjungan kenegaraan Raja Yordania Abdullah II ke Gedung Putih.
Trump menjelaskan bahwa serangan yang menewaskan 100 jiwa dan melukai sekitar 350 orang itu --termasuk di antaranya adalah anak-anak-- sebagai sebuah insiden mengenaskan.
Advertisement
Dalam kesempatan yang sama, presiden AS itu juga mengungkapkan akan mengubah kebijakan politiknya terhadap Suriah.
"Adalah sangat mungkin jika sikap saya kepada Assad telah berubah. Tindakan keji yang dilakukan rezim Assad itu tidak dapat ditoleransi," ujar Trump seperti yang dikutip VOA, Kamis, (6/4/2017).
Presiden ke-45 AS itu juga mengumbar memiliki rencana untuk Suriah dan Assad. Namun rencana seperti apa yang akan disiapkan dan kapan rencana itu akan dieksekusi oleh pemerintahan Trump masih belum jelas.
"Kalian akan lihat. Mereka akan mendapatkan pesannya. Kalian akan lihat seperti apa pesannya...saya tak akan mengatakannya dalam waktu dekat ini," ujar Trump.
Ia juga menolak menjelaskan apakah pimpinan pasukan AS dan Irak akan menempatkan pasukan di Mosul dan kota-kota besar di Suriah dalam beberapa bulan ke depan.
Trump juga mengkritik presiden pendahulunya, Barack Obama, karena dianggap gagal melakukan aksi signifikan dalam menangani rezim Assad yang kerap menggunakan senjata kimia dalam konflik Suriah.
Meski Trump dan beberapa pakar politik kerap mengkritik Obama karena tidak melakukan intervensi militer di Suriah, di sisi lain Kongres AS menolak hal tersebut.
"Padahal dia punya kesempatan bagus (untuk melakukan intervensi di Suriah)...dan fakta bahwa ia tidak melakukannya adalah sebuah kekecewaan, baik bagi Suriah dan sejumlah negara lain di dunia. Saya rasa itu bukan momen terbaik AS sebagai negara," imbuh Trump.
Namun kini, AS berniat untuk melakukan intervensi di Suriah, meski belum diketahui bentuk intervensi seperti apa yang akan dieksekusi.
"Sekarang saya punya tanggung jawab, dan saya akan melaksanakan tanggung jawab itu dengan bangga," tambah Trump.
Pada kesempatan yang sama, Raja Yordania Abdullah II bin Al-Hussein menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Suriah merupakan kegagalan diplomasi dari banyak negara yang terlibat pada perang sipil itu.
"Situasi di Suriah dan serangan gas itu, sayangnya, seperti saya dan Anda (Trump) setujui, merupakan bukti kegagalan diplomasi internasional untuk menemukan solusi dalam krisis tersebut," tambah Raja Yordania itu.
Raja Abdullah menjelaskan bahwa konflik yang telah berlangsung selama tujuh tahun itu kini menjadi sebuah perang kebijakan dari sejumlah negara yang setengah hati untuk memberikan bantuan. Dan, warga sipil yang lagi-lagi paling dirugikan.
"Itu terjadi dalam pengawasan kita, dalam kesadaran kita sebagai sebuah komunitas internasional, dan saya memahami betul gelora presiden (Trump) untuk tidak menoleransi kejadian itu. Dan saya yakin, penghinaan terhadap kemanusiaan semacam itu bukanlah sesuatu hal yang dibiarkan presiden (Trump) begitu saja...saya sepenuhnya mendukung tindakannya," tegas sang Raja.
Pembahasan mengenai Suriah dan situasi Palestina-Israel yang seluruhnya berada dekat dengan wilayah Yordania, menjadi topik utama pertemuan Presiden Trump dan Raja Abdullah.
Raja Abdullah, sebagai representasi sejumlah negara Timur Tengah menyampaikan pesan tentang perlunya pembaruan kebijakan mengenai pakta perdamaian Israel dengan Palestina dengan melibatkan bangsa Arab dan muslim. Pakta itu nantinya akan berisi tentang rencana pembentukan negara Palestina.
"Stagnasi perdamaian Israel-Palestina merupakan sumber masalah di Timur Tengah...dan perhatian Trump untuk membicarakan ini membawa angin segar bagi kami," imbuh Raja Abdullah.
Kemungkinan baru untuk membicarakan perdamaian antara Israel dengan Palestina dan membuat sebuah pakta tentang Timur Tengah merupakan isu-isu yang kerap dihindari para presiden pendahulu Trump.
Trump mendeklarasikan dirinya sebagai sekutu dekat Israel dan telah bertemu dengan PM Benjamin Netanyahu di Gedung Putih. Ia memiliki visi alternatif untuk mendamaikan Israel dengan Palestina.
Dan baru-baru ini, Trump terlihat banyak melakukan langkah terukur pada isu Palestina -Israel, salah satunya dengan menghambat pembentukan pemukiman Israel di wilayah konflik dan berjanji untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Pembicaraan seserius itu belum pernah dilakukan sejak tahun 2009 saat Netanyahu terpilih sebagai PM Israel.