Liputan6.com, Hanoi - Sejumlah warga desa di Vietnam menyandera sekitar 38 orang yang terdiri dari polisi dan pegawai negeri sebagai bentuk ptotes atas penuntutan hak kepemilikan tanah.
Pihak tentara menuntut warga untuk meninggalkan sejumlah tanah yang diklaim sebagai milik tentara di Dong Tam, pinggir kota Hanoi, Vietnam. Sebaliknya, warga menolak pindah karena mengaku memiliki bukti kepemilikan tanah yang legal. Warga desa melakukan protes disebabkan karena seteru hak kepemilikan tanah dengan firma milik Tentara Vietnam sejak tahun 2015.
Baca Juga
Pihak militer menjelaskan bahwa tanah seluas 50 hektar tersebut rencananya akan digunakan untuk pendirian infrastruktur pertahanan oleh firma tentara Viettel Group yang bergerak pada bidang komunikasi pada tahun 2015. Sejak itu, Viettel Group mulai mengosongkan lahan dan mengusir warga. Namun, warga melakukan perlawanan.
Advertisement
Kejadian penyanderaan bermula pada Sabtu, 15 April 2017 lalu. Warga desa Dong Tam menyandera 38 orang di wilayah desa sebagai bentuk protes atas hak kepemilikan tanah. Sandera terdiri dari petugas polisi dan pegawai negeri. Selama penyanderaan, 38 orang tersebut ditahan dan tidak diizinkan untuk keluar dari desa.
Selama perseteruan, warga desa Dong Tam mengusir sejumlah aparat dan membarikade jalan untuk mencegah petugas keamanan masuk ke wilayah desa. Situasi itu sempat membuat tinggi tensi konflik antara warga desa dengan pemerintah setempat.
Kantor berita BBC, Minggu (23/4/2017) melaporkan, 19 tawanan sudah dibebaskan pada 22 April 2017. Dan, 19 sisanya dibebaskan pada 23 April 2017.
Konflik serupa antara pemerintah dengan warga desa kerap terjadi di Vietnam karena negara komunis itu tidak mengakui hak kepemilikan tanah pribadi. Pemerintah mengklaim memiliki hak pengelolaan tanah untuk pembangunan dan proyek investasi.
Namun, peristiwa penyanderaan aparat pemerintah oleh warga desa yang menuntut hak kepemilikan tanah baru terjadi pada tahun 2017 ini.
Pada tahun 2013, seorang petani didakwa lima tahun penjara karena melawan pemerintah atas isu hak kepemilikan tanah. Sang petani membunuh sejumlah polisi dengan bom dan senapan. Selain itu, pada tahun 2012, 20 warga desa ditangkap karena terlibat dalam rusuh dengan polisi atas konflik serupa.