5 Eksperimen Jahat untuk Mengobati Penyakit Menular Seksual

Terobosan terbesar dalam melawan penyakit menular seksual justru berasal dari eksperimen-eskperimen paling tidak etis.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 25 Okt 2017, 22:00 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2017, 22:00 WIB
Percobaan medis rahasia (1)
Penelitian sipilis di Tuskegee. (Sumber Wikimedia Commons/National Archives and Records Administration)

Liputan6.com, Jakarta - Di seluruh dunia, penyakit menular seksual (PMS) menjadi masalah besar. Tapi, beberapa terobosan terbesar dalam melawan PMS justru berasal dari eksperimen-eskperimen paling tidak etis.

Selama 40 tahun, dari 1932 hingga 1972, dijalankan eksperimen terhadap warga kulit hitam di Macon County, Alabama, Amerika Serikat (AS). Eksperimen yang dikenal dengan Tuskegee Syphilis Experiment itu melibatkan 399 warga yang mengidap penyakit dan 201 yang tidak.

Para peserta tidak mengetahui sedang dilibatkan dalam eksperimen besar dan hanya diberitahu bahwa prosesnya berlangsung hanya 6 bulan. Mereka diberi makanan, pengobatan, dan asuransi gratis untuk pemakaman.

Suara gaduh di dalam tim bermula pada 1960-an. Peter Buxtun, penyidik penyakit menular di Public Health Service kemudian membocorkan pada pers pada 1972.

Eksperimen terkait sipilis juga dilakukan oleh pemerintah AS pada 1946 – 1948 melalui kerjasama dengan segelintir pejabat kesehatan Guatemala. Tujuannya adalah menguji keampuhan penisilin dalam melawan sipilis.

Pengamatan dilakukan terhadap para pekerja seksual komersial Guatemala pengidap sipilis dan pria-pria yang mereka tulari. Tapi, kebanyakan korban justru tertular karena sengaja disuntik dengan penyakit itu. Kebanyakan korban adalah narapidana dan pasien rumah sakit jiwa.

Eksperimen itu dipimpin oleh dokter John Charles Cutler yang juga terlibat dalam eksperimen Tuskegee. Pada 2010, pihak AS akhirnya mengajukan permintaan maaf resmi kepada para korban Guatemala.

Diringkas dari listverse.com pada Rabu (25/10/2017), berikut ini adalah beberapa eksperimen lain penyembuhan PMS yang dipertanyakan secara etika:

 

 

 

 

 

1. Eksperimen Gonorea Dokter Heiman

Sebagai hasil dari beberapa eksperimen keji, akhirnya terungkap bahwa penisilin bisa menjadi obat melawan gonorea. (Sumber Wikimedia Commons)

Ada lebih dari 40 orang yang dilaporkan menyintas infeksi eksperimental penyakit gonorea di ujung Abad ke-20. Saat itu, praktik pada manusia mulai dikurangi setelah diketahui bahwa monyet juga bisa ditularkan.

Pada masa puncaknya, cara populer yang dipakai adalah dengan mengusapkan mata korban dengan sampel gonorea menggunakan butiran kapas di ujung suatu batangan.

Pada 1895, Dokter Henry Heiman menggunakan cara itu untuk sengaja menulari dua anak yang memiliki keterbelakangan mental.

Menurut tulisannya sendiri, si dokter menjelaskan bahwa anak lelaki berusia 4 tahun dalam eksperimen adalah "seorang anak dengan lepra kronis" sedangkan remaja putra berusia 16 tahun yang terlibat adalah "seorang idiot."

Heiman meluangkan bagian besar karirnya untuk mempelajari reaksi kepekaan hiper terhadap vaksin-vaksin. Reaksi demikian dikenal sebagai reaksi Pirquet.

Walaupun keji sebagaimana ekperimen-eksperimen brutal lain pada masa itu, hasil yang diinginkan membantu temuan bentuk imunisasi yang aman.

2. Percobaan Placebo Obat AIDS

Eksperimen obat AZT. (Sumber Wikimedia Commons/National Cancer Institute)

Pada 1990-an, pihak Centers for Disease Control (CDC) mendanai beberapa eksperimen di Afrika, Thailand, dan Republik Dominika untuk menentukan keampuhan obat yang dikenal sebagai AZT.

Di AS, obat itu dipakai oleh wanita-wanita penderita AIDS dan diberikan dalam 12 minggu terakhir kehamilan mereka.

Tujuan AZT adalah pengurangan kemungkinan penyebaran penyakit kepada bayi. Tapi, pada saat eskperimen, biayanya masih sekitar US$ 1.000 untuk setiap ibu.

Kemudian digelarlah eksperimen di luar negeri guna mencari cara lebih murah untuk menyembuhkan manusia. Secara keseluruhan ada 12.211 wanita yang dilibatkan dalam eskperimen.

Beberapa di antaranya mendapat AZT seperti yang diterima ibu-ibu Amerika, sebagian lagi mendapat dosis yang lebih rendah, dan sebagian lagi menerima placebo.

Legitimasi etis eksperimen AZT telah lama berlalu. Pada pendukung eksperimen bersikeras bahwa kaum wanita yang menerima placebo memang tidak mampu mendapat akses kepada obat mahal.

Namun, yang menjadi wilayah abu-abu dalam eksperimen ini adalah lebih dari 1.000 bayi yang tertular dari para ibu peserta penelitian. Ibu-ibu mereka tidak menyadari bahwa obat yang mereka terima tidak menyembuhkan.

Eksperimen itu telah berakhir setelah tuntas di Thailand.

Temuan penelitian membenarkan bahwa periode penggunaan AZT yang lebih singkat masih secara signifikan mengurangi kemungkinan bayi terlahir dalam keadaan tertular.

3. Eksperimen Herpes pada Bayi oleh Dokter Black

Herpes labialis. (Sumber Wikimedia Commons)

Di akhir 1930-an, Dokter William C. Black memulai serangkaian eksperimen herpes. Secara keseluruhan ada 23 anak yang disuntik dengan virus agar ia bisa mendokumentasikan gejala-gejala fisik yang diakibatkan.

Pada 1941, ia menulari bayi berusia 12 bulan yang oleh Black dijelaskan telah "ditawarkan untuk menjadi sukarelawan."

Dalam skenario terbaik, bayi itu lumayan komunikatif. Temuan penelitiannya kemudian dikirim ke The Journal of Experimental Medicine.

Menanggapinya, editor bernama Dokter Payton Rous menuliskan, "Menurut pendapat pribadi saya, inokulasi pada bayi berusia 12 bulan…adalah penyalahgunaan wewenang, suatu pelanggaran terhadap hak individu, dan tidak bisa dimaafkan karena penyakit yang menjadi akibatnya memiliki implikasi pada ilmu pengetahuan."

Walau dengan ganjalan itu, penelitian Dokter Black membantu menyimpulkan bahwa gejala virus herpes bisa sangat beragam dari satu pasien ke pasien lain.

Temuan-temuannya pertama kali diterbitkan dalam The Journal of Pediatrics pada 1942.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

4. Eksperimen Sipilis oleh Dokter Noguchi

Hideyo Noguchi. (Sumber Wikimedia Commons)

Dokter Hideyo Noguchi paling diingat karena eksperimen-eksperimen sipilis pada manusia pada 1911 dan 1912. Eksperimen itu menjadi bagian dari tugas lebih besar lagi di Rockefeller Institute, New York.

Noguchi merekrut 571 peserta dari beberapa rumah sakit dan klinik lokal. Tapi, anak-anak yatim piatu pun dilibatkan.

Sekitar 315 peserta penelitian memang sudah mengidap sipilis. Sisanya dimanfaatkan sebagai kelompok kendali dan bebas dari sipilis saat mulainya penelitian.

Beberapa subyek yang dirawat di rumah sakit memang sudah dirawat untuk beragam penyakit lain, misalnya lepra, malaria, radang paru, dan tuberkulosis.

Dalam eksperimen, para subyek disuntik dengan saripati (extract) sipilis, lalu reaksi kulitnya dipelajari.

Orang-orang yang termasuk dalam kelompok kendali memegang peranan penting dalam penelitian karena saripati penyakitnya menyebabkan reaksi-reaksi berbeda, tergantung apakah si pasien sudah tertular atau belum.

Rangkaian eksperimen itu dikritik secara luas oleh publik sehingga mengundang protes-protes terorganisasi. Jerome Greene, salah satu rekan Noguchi di Rockefeller Institute, menuliskan surat tanggapan.

Ia mengatakan bahwa Noguchi pun menyuntik dirinya dengan saripati sipilis sebelum menggunakannya pada para peserta eksperimen dan telah membuktikan tidak menyebabkan infeksi.

Ternyata hal itu bualan belaka. Noguchi memang menyuntik dirinya dan ia mendapat diagnosa sipilis pada 1913 setelah lama mengabaikan gejala-gejala penyakitnya.

Namun demikian, melalui karyanya, Dokter Noguchi mengungkapkan bahwa sipilis menyebabkan lumpuh progresif sehingga dia kemudian dicalonkan menjadi penerima Piagam Nobel karenanya.

5. Percobaan Obat AIDS GlaxoSmithKline pada Yatim Piatu

Abacavir, obat AID/HIV keluaran GlaxoSmithKline. (Sumber Wikimedia Commons)

Pada 2004 terungkaplah bahwa perusahaan GlaxoSmithKline dan lembaga National Institutes of Health (NIH) telah mendanai percobaan-percobaan kedokteran pada anak-anak yatim piatu dan anak-anak rentan lainnya.

Percobaan itu berlangsung di Incarnation Children's Center, New York, dan telah berjalan selama 9 tahun.

Secara normal, anak-anak yang ikut serta dalam percobaan-percobaan harus mendapat izin orangtua. Karena keadaan mereka, pihak berwenang negara bagian New York diperbolehkan memberikan izin atas nama anak-anak itu.

Beberapa di antara mereka masih berusia 6 bulan. Selama bertahun-tahun, anak-anak memang sering dijadikan menjadi kelinci percobaan untuk obat-obat yang berbeda-beda.

Misalnya percobaan obat herpes dan obat AZT untuk AIDS dan HIV seperti disebut sebelum ini. Padahal AZT itu sangat kuat, bahkan untuk orang dewasa sekalipun.

Dokter Nicholas, seorang dokter spesialis anak (pediatri) yang terlibat dalam percobaan, mengatakan "Tidak satupun anak terkena dampak samping yang tidak diinginkan."

Mungkin memang benar demikian, tapi itu adalah pandangan pelaku percobaan. Yang dialami anak-anak biasanya lebih mengerikan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya