Liputan6.com, Da Nang - Kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat telah merapat ke Vietnam untuk pertama kali sejak tahun 1975. Ini sebuah langkah yang dipandang banyak kalangan sebagai usaha kedua negara untuk membendung ekspansionisme Tiongkok di Laut China Selatan.
USS Carl Vinson -- bertenaga nuklir, dioperasikan oleh 6.000 awak, didampingi satu kapal penjelajah dan kapal perusak -- tiba pada Senin, 5 Maret 2018. Kapal induk AS akan berlabuh selama lima hari di Kota Da Nang, Vietnam tengah. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (6/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Personel USS Carl Vinson dijadwalkan akan melakukan people-to-people contact dengan penduduk dan pemerintah lokal -- di samping tugas utama yang ditujukan untuk menyimbolisasikan kemitraan Washington - Hanoi yang menguat setelah sempat bermusuhan pada Perang Vietnam.
Walaupun ini pertama kalinya alutsista sekelas kapal induk AS singgah di Vietnam, kapal-kapal perang Negeri Paman Sam yang berukuran lebih kecil sudah pernah berkunjung ke wilayah tersebut.
Misalnya, kunjungan tahun 2016 oleh kapal selam Amerika USS Frank Cable dan kapal perusak berpeluru kendali USS John S McCain ke Cam Ranh Bay.
Kunjungan itu dilakukan di tengah intensitas Tiongkok dalam mengklaim hampir seluruh kawasan dan meningkatkan kehadiran militernya di Laut China Selatan.
Mereka juga telah mereklamasi tujuh pulau di Spratly, Laut China Selatan -- wilayah maritim yang juga diklaim Vietnam.
Mempertegas Prinsip Freedom of Navigation?
Sejak beberapa waktu terakhir, Amerika Serikat kian menegaskan sikap mereka terhadap prinsip freedom of navigation (kebebasan bernavigasi), sebagai salah satu cara untuk menghalau ekspansionisme Tiongkok di kawasan sengketa Laut China Selatan.
Januari 2018 lalu, dalam kunjungannya ke Indonesia, Menteri Pertahanan AS James Mattis kembali mempertegas prinsip itu. Mattis juga menegaskan siap bekerja sama dengan negara-negara di kawasan demi mencapai tujuan tersebut.
"Kita (AS) akan terus bekerja sama dengan kalian untuk menjamin keamanan, kesejahteraan ... kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum internasional, serta menjamin prinsip kebebasan bernavigasi (di kawasan maritim). Semua itu penting bagi semua negara," kata Mattis di Gedung Kemhan RI, Jakarta 23 Januari 2018 lalu.
Mattis juga menggarisbawahi signifikansi peran ASEAN -- di mana Vietnam merupakan salah satu negara anggotanya -- dalam menjamin dan mempertahankan keamanan di kawasan maritim tersebut.
Beberapa bulan sebelumnya, penasihat senior untuk Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Brian Hook, juga mengatakan bahwa AS akan terus mendorong prinsip kebebasan navigasi (freedom of navigation) di kawasan dengan "terus mengirim kapal patroli ke wilayah tersebut:.
"Militerisasi yang provokatif yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan adalah salah satu contoh bahwa mereka tengah berusaha untuk menggoyahkan hukum internasional," kata dia, seperti dikutip dari transkrip telephonic briefing US State Department Asia-Pacific Media Hub, yang diperoleh Liputan6.com pada Rabu, 10 Januari 2018.
"Kami akan terus mendorong operasi prinsip kebebasan navigasi, dan membiarkan mereka (China) tahu bahwa kami akan berlayar, terbang, dan beroperasi di manapun hukum internasional mengizinkan," ia menambahkan.
Advertisement
Ekspansionisme atau Klaim Kedaulatan?
Seperti dikutip dari Newsweek, sejak kurun waktu terakhir, China dilaporkan telah dan terus membangun bangunan yang difungsikan untuk kepentingan militer di kawasan laut yang menjadi sengketa bagi para negara di sekitarnya.
Desember lalu, citra satelit yang diperoleh oleh Australian Maritime Transparency Initiative yang berbasis di Washington menunjukkan bahwa China telah membangun sebuah radar dengan frekuensi tinggi di kawasan reklamasi terumbu karang Fiery Cross dan depot amunisi di kawasan reklamasi terumbu karang Subi.
Tahun lalu, Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.
Tiongkok melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi semu "the nine-dash line" atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk seluruh kawasan Laut China Selatan.
Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.
Kritik AS berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Washington juga menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.
Beijing telah berulang kali memperingatkan AS agar menahan diri dan tidak terlibat dalam perselisihan tersebut. Negeri Tirai Bambu juga mengklaim bahwa kebebasan patroli navigasi -- seperti yang hendak direncanakan AS -- merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan China.