Perdana, Pakistan Buka Sekolah untuk Murid Transgender

Sekolah untuk transgender, Gender Guardian School diresmikan di Pakistan pada 21 April 2018 lalu.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Apr 2018, 21:30 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2018, 21:30 WIB
Sekolah transgender di Pakistan. (DW)
Sekolah transgender di Pakistan. (DW)

Liputan6.com, Peshawar - Kaum transgender di Pakistan kini tak perlu khawatir soal mengenyam pendidikan di negara tersebut. Sebab baru-baru ini untuk pertama kalinya dibuka sekolah untuk kaum tersebut.

Adalah Gender Guardian School yang diresmikan pada 21 April 2018 lalu. Sekolah transgender tersebut sudah menerima pendaftaran 25 siswa.

Berlokasi di kota Lahore, Provinsi Punjab, sekolah ini menuai pujian dari aktivis HAM, pengacara, guru dan siswa sebagai inisiatif yang luar biasa dalam usaha pengarusutamaan komunitas yang terpinggirkan.

Sekolah yang menjadi proyek dari LSM Exploring Future Foundation (EFF) ini menawarkan pendidikan dalam delapan bidang, diantaranya kuliner, desain busana dan kosmetik. Sekolah ini berencana untuk juga menawarkan kurikulum pendidikan formal.

"Di Pakistan ada sekolah untuk penyandang disabilitas, anak-anak yatim piatu dan kelompok minoritas lainnya, tetapi tidak ada institusi untuk kaum transgender. Jadi kami mengambil keputusan untuk menciptakan sistem edukasi yang layak untuk orang-orang transgender agar mereka bisa terberdayakan dan terdidik. Hal ini bertujuan supaya mereka bisa mencari nafkah dan memberikan kontribusi yang lebih positif untuk masyarakat Pakistan," kata Asif Shahzad, pendiri sekolah, kepada Deutsche Welle (DW) yang dikutip Rabu (25/4/2018).

Shahzad menambahkan, Gender Guardian School memiliki tujuan untuk memberikan lingkungan belajar yang aman kepada siswa transgender. Selain belajar, para siswa juga bisa mendapatkan konsultasi karir.

"Tujuan pokok kami adalah untuk mengakhiri perpecahan dalam masyarakat Pakistan dan menyebarkan nilai pluralisme dan toleransi di seluruh negeri", ujar Shahzad.

"Jika komunitas transgender menjadi kelompok yang terdidik dan terberdayakan, mereka pasti akan menghindari profesi yang tidak etis. Jadi, kami akan bekerja untuk mereka sehingga mereka bisa menjauh dari aktivitas negatif dan bisa berkontribusi dalam masyarakat", ungkapnya lagi.

Didiskriminasi dan Dirugikan

Kaum transgender dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dalam masyarakat Pakistan yang konservatif, di mana mereka sering dilecehkan dan dianggap tidak penting. Di tahun 2016 Alisha, aktivis transgender berusia 23 tahun, meninggal di rumah sakit di Peshawar akibat staf rumah sakit yang tidak bisa menangani luka tembaknya dengan cepat karena mereka tidak bisa menentukan, apakah Alisha harus ditangani di ruang penanganan untuk perempuan atau laki-laki. Teman-temannya merasa ada diskriminasi dalam kasus Alisha.

Meskipun ada terobosan hukum dan konstitusional untuk menjamin hak azasi kaum transgender, penerapan di lapangan berjalan sangat  lambat. Orang-orang transgender hanya boleh ikut pemilihan umum di tahun 2011. Dalam sensus nasional tahun lalu, mereka didata sebagai kategori terpisah.

Meskipun dalam undang-undang mereka memiliki hak-hak ekonomi dan sosial, seperti hak waris, pada praktiknya tidak begitu. Kelompok religius bahkan menolak untuk memberikan mereka hak ritual agama karena transgender dianggap bertentangan dengan Islam.

Kebanyakan kaum transgender di Pakistan tidak diakui lagi oleh keluarga mereka.

"Lebih dari 90 persennya memiliki masalah yang sama, yakni orang tua mereka tidak mengakui mereka lagi sebagai anak. Mereka tinggal bersama pembimbing mereka. Oleh karena itu, kami tidak mengontak orang tua mereka. Yang kami kontak adalah para pembimbing", ungkap Shahzad.

Pembimbing di sini merujuk pada orang-orang yang mengurus dan membantu kaum transgender di tempat perlindungan setelah mereka diusir dari rumah.

Semangat di Balik Perubahan

"Mereka adalah manusia, sama dengan kita. Mereka juga berhak untuk mendapatkan tempat di masyarakat dan menjalani hidup yang normal seperti kita. Saya berharap, dengan adanya sekolah ini, mereka bisa hidup, mencari nafkah dan diterima di Pakistan," kata Eeman Khan, guru non-transgender, yang mengajar bahasa Inggris dan komputer di sekolah ini.

Khan mengatakan ia menerima pekerjaan sebagai guru di sekolah untuk transgender karena ia ingin membangkitkan kesadaran masyarakat Pakistan bahwa semua orang memiliki derajat yang sama, termasuk transgender. Salah satu hambatan utama untuk perubahan positif adalah pola pikir yang mengakar kuat (bahkan dalam komunitas transgender sendiri) bahwa orang-orang transgender itu berbeda.

Oleh karena itu, sekolah ini bertujuan untuk menolong kelompok trangender mendapatkan kesempatan dan berintegrasi ke masyarakat, selain menjadi panutan untuk komunitas transgender lain.

"Ini adalah inisiatif paling awal untuk komunitas transgender yang terpinggirkan. Pasti akan ada rintangan. Namun, langkah mendirikan sekolah untuk transgender akan membawa perubahan di Pakistan. Saya pribadi percaya, halangan yang bersifat finansial dan sosial serta penolakan dari keluarga, juga kesenjangan antara kaum transgender dan non-transgender di Pakistan akan berkurang berkat inisiatif ini", kata Sanya Abbasi, salah seorang guru transgender di sekolah.

"Sebagai seorang guru, saya akan melakukan yang terbaik untuk memberdayakan komunitas saya karena pelatihan dan pendidikan yang layak akan membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan memenuhi kebutuhan hidup", kata Abbasi kepada Deutsche Welle.

Harapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Tidak seperti kelompok agama minoritas atau penyandang cacat, kaum transgender tidak mendapatkan porsi dalam peraturan tentang kuota pekerjaan. Peraturan ini mewajibkan perusahaan dan kantor untuk memenuhi kuota memperkerjakan orang dari kelompok minoritas. Kelompok transgender juga jarang sekali diterima bekerja di kantor atau institusi.

"Saya bergabung dengan sekolah ini untuk mendapatkan tempat di Pakistan. Saya ingin bekerja dan menjadi mandiri. Jika kami mandiri dan berkontribusi ke masyarakat dan negara, orang-orang akan menerima kami", kata Moon, seorang siswa, pada Deutsche Welle.

Siswa lain, Arham, bercerita pada Deutsche Welle bahwa ia ingin menjadi penata rias, membuka salon dan membuka lapangan pekerjaan untuk komunitasnya. "Mereka lebih baik bekerja di salon saya daripada mengemis di jalanan dan jadi bahan lelucon orang."

"Hanya orang tua saya yang menerima saya dan melihat saya sebagai manusia. Orang lain, seperti sepupu atau bahkan saudara kandung, mencemooh saya. Saya benar-benar berharap bahwa langkah untuk mendidik komunitas kami akan membantu kami berintegrasi ke dalam masyarakat dan kami akan dilihat sebagai manusia", kata Arham.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya