24-11-1924: Penerbangan Perdana Amsterdam ke Batavia Berlangsung 127 Jam

Pada 24 November 1924 pesawat Fokker F. VII mendarat di Bandara Tjililitan. Menjadi momentum penerbangan perdana Amsterdam-Batavia.

oleh Elin Yunita KristantiRizki Akbar Hasan diperbarui 24 Nov 2018, 06:03 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2018, 06:03 WIB
Pada 24 November 1924 pesawat Fokker F. VII mendarat di Bandara Tjililitan.
Pada 24 November 1924 pesawat Fokker F. VII mendarat di Bandara Tjililitan (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Liputan6.com, Jakarta - Bagi banyak orang saat ini, bepergian dengan pesawat bukan lagi hal mustahil untuk dilakukan. Namun, sekitar 100 tahun lalu, kapal terbang masih dianggap 'keajaiban'.

Hari itu, 24 November 1924, warga berduyun-duyun mendatangi Bandara Tjililitan (kini Lapangan Udara Halim Perdanakusuma), di luar kota Batavia, cikal bakal Jakarta.

Jumlah mereka yang berkerumun mencapai ratusan, pria dan wanita, berpakaian perlente hingga bertelanjang dada, berusaha sedekat mungkin dengan burung besi yang baru saja mendarat, setelah menempuh perjalanan panjang, untuk kali pertamanya, dari Amsterdam, Belanda menuju Batavia.

"Setelah tahun-tahun pasca-perang yang penuh turbulensi, antara pukul 15.00 hingga 16.00 sore, pesawat KLM tiba di Batavia-Djakarta," demikian dikutip dari buku Volume One: Paradise...!: from East to West yang ditulis Fred fd Douglas.

Kepala orang-orang mendongak ke arah kapal terbang besar, dengan nomor registrasi H-NACC yang terpampang di sayapnya yang lebar. Sementara, badan pesawat menyandang logo KLM atau maskapai Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij.

Kapal terbang itu berjenis Fokker F. VII, bikinan Anthony Fokker, penerbang sekaligus insinyur yang lahir di Blitar, Jawa Timur.

Penerbangan lintas benua dan samudera itu masih dalam tahap uji coba. Belum komersial. Hanya ada tiga orang di dalamnya: dua penerbang yakni Jan Thomassen à Thuessink van der Hoop dan Van Weerden Poelman, serta satu teknisi pesawat, Van de Broeke.

Tak ada penumpang lain di dalamnya. Bagian belakang pesawat memuat banyak surat. Bukan hanya jadi penerbangan perdana jarak jauh dari Belanda ke wilayah koloninya di Hindia Belanda, itu juga jadi momentum pengiriman surat pertama lewat udara alias airmail.

Kala itu, terbang dari Belanda ke Batava bukanlah penerbangan normal. Penuh bahaya. Waktunya pun panjang.

Saat ini, penerbangan langsung dari Jakarta menuju Amsterdam atau sebaliknya memakan waktu sekitar 14 jam 35 menit, dengan maskapai Garuda Indonesia. Saat itu, bisa berlangsung beberapa hari.

Alasannya, penerbangan hanya bisa dilakukan pada siang hari, karena belum adanya sarana navigasi. Tanpa panduan, yang bisa dilakukan pilot adalah terbang di sepanjang rel kereta api, sungai, gereja-gereja, desa, kota, garis pantai, dan sebagainya -- menjadikannya tengara -- hingga akhirnya tiba di tujuan.

Karena itu lah, biasanya penerbangan hanya dilakukan jarak pendek. Dari Belanda, paling jauh menuju Paris.

Penerbangan jarak jauh hingga ke Hindia Belanda digagas Direktur KLM, Albert Plesman pada 1923. Dengan menggandeng Fokker dan sejumlah pihak lain mereka mewujudkan misi ambisius itu.

Dikutip dari Situs KLM, berdasarkan catatan  Comité Vliegtocht Nederlandsch-Indies, sejumlah persiapan dilakukan untuk mewujudkannya.

Pihak Fokker, misalnya, sampai merasa harus membuat tipe pesawat baru: Fokker F. VII.

H-NACC dimodifikasi secara drastis. Misalnya, kapasitas bahan bakar diperbesar dari 66 ke 224 galon. Mengatasi cuaca panas di tempat tujuan, radiator tambahan dipasang di bawah mesin.

Di atas mesin, tangki air pendingin tambahan dipasang dan semua jendela ditutup dengan kain.

Di sisi lain, perencanaan disusun. Misalnya, di mana pesawat harus transit? Apakah bahan bakar akan dibawa atau disiapkan di lokasi transit? Bagaimana jika sesuatu terjadi?

Awalnya perjalanan direncanakan berlangsung selama 22 hari. Namun, sejarah membuktikan, menerbangkan pesawat pada masa lalu sama sekali tak mudah.

127 Jam Penuh Drama

Pesawat Fokker F. VII di Bandara Tjililitan.
Pesawat Fokker F. VII di Bandara Tjililitan (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Pesawat Fokker F. VII dengan kode registrasi H-NACC lepas landas dari Bandara Schiphol, Amsterdam pada 1 Oktober 1924.

Namun, tiga hari kemudian. Masalah serius terjadi. Pesawat terpaksa mendarat darurat di Phillippopolis, Bulgaria 4 Oktober 1924.

Sistem penggerak pesawat kolaps, sayap rusak. Kerusakan itu tak bisa diatasi para awak. Yang lebih serius, mesin tak bisa lagi digunakan. Harus diganti.

Penduduk lokal yang berkerumun di sekitar Fokker F. VII membuat van der Hoop dan para awaknya merasa diterima. Namun, mereka frustasi bukan kepalang karena tak satu pun warga lokal bisa bicara Prancis, Jerman, Inggris, apalagi ngomong Belanda.

Hingga akhirnya, seorang guru sekolah yang mengerti Bahasa Jerman muncul. Van der Hoop meminta izin untuk menggunakan pesawat telepon yang biasanya hanya bisa diakses pejabat berwenang.

"Aku mencoba mengatakan padanya bahwa di semua negara beradab, (terkait) kecelakaan pesawat memiliki prioritas untuk menggunakan saluran telepon dan telegraf," demikian menurut sang pilot, van der Hoop seperti dikutip dari buku Blue Skies, Orange Wings.

Tak mudah untuk meyakinkan pihak Bulgaria itu untuk merelakan pesawat telepon mereka digunakan orang asing. Dan, menggunakan telepon primitif itu ternyata tak kalah susah.

Setelah berhasil menghubungi pihak Belanda, masalah baru muncul. Comité Vliegtocht Nederlandsch-Indies tak mengganggarkan pengadaan mesin baru.

Misi ke Batavia terancam gagal total.

Di tengah keputusasaan, bantuan tak terduga muncul. Dari media. Perjalanan van der Hoop dan para awaknya yang nahas ramai diberitakan surat kabar di Belanda.

Bahkan majalah Het Leven mengadakan penggalangan dana untuk membeli mesin pesawat baru. Kampanye itu sukses besar. Hanya dalam beberapa pekan, uang yang dibutuhkan terkumpul.

Mesin Rolls Royce Eagle baru kemudian dibeli, dikirim melalui perbatasan Eropa Timur (dengan melibatkan uang pelicin, tentu saja), para teknisi pun didatangkan ke Bulgaria.

Akhirnya, pesawat pun kembali mengudara pada 2 November 1924. Akhirnya, jarak 15.000 km dari Amsterdam ke Batavia ditempuh dalam waktu 55 hari, dengan mencatatkan 127 jam terbang.

Dari Bulgaria, pesawat transit di sekitar 20 kota di dunia, ke Konstantinopel, Angora, Baghdad, Bandar Abbas, Karachi, Ambala, Allahabad, Kalkuta, Akyab, Yangon, Bangkok, Singora, dan Medan di Sumatera Utara.

Pengalaman terbang yang luar biasa itu dituangkan van der Hoop dalam sebuah buku berjudul Door De Lucht Naar Indie -- Menembus Langit Menuju Hindia Belanda -- yang terbit pada 1925. 

Ada banyak kisah petualangan dituturkan di dalamnya, misalnya di Myanmar, pesawat mendarat di arena balap, tepat sebelum perlombaan dimulai.

Setelah menuntaskan misinya menjejak Hindia Belanda, pesawat H-NACC kemudian dibongkar dan diangkut ke Eropa naik kapal uap 'Kertosono' milik Rotterdamse Lloyd. Cara yang tak seheroik perjalanan menuju Hindia Belanda,

Petualangan penuh drama van der Hoop dan para awaknya menjadi pionir dan membuktikan perjalanan jarak jauh naik pesawat terbang bukan hal mustahil dilakukan.

Selain penerbangan perdana Amsterdam ke Batavia, sejumlah kejadian bersejarah terjadi pada tanggal 24 November 2018.

Pada 1642, Abel Tasman menjadi orang Eropa pertama yang menemukan Tanah Van Diemen yang kemudian menjadi Tasmania.

Sementara, pada 1859, Charles Darwin mempublikasikan karya ilmiah berjudul The Origin of Species.

Sejarah mencatat, 24 November 1963 menjadi momentum ketika tersangka pembunuh John F. Kennedy, Lee Harvey Oswald, ditembak mati oleh Jack Ruby di Dallas, Texas, dalam siaran langsung televisi nasional.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya