Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi di muka Bumi kini kian menjadi-jadi. Tak terkecuali penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam segala sektor, tak terkecuali pengubahan foto dan video.
AI sejatinya dibuat untuk mempermudah atau meringankan pekerjaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ada saja oknum yang menyalahgunakan AI untuk merugikan orang banyak.
Salah satunya, yang belakangan ini sedang marak beredar, adalah video porno palsu deepfake.
Advertisement
Baca Juga
Istilah deepfake sebenarnya berasal dari kombinasi kata "deep learning" dan "fake". Perangkat lunak berbasis AI ini dapat menumpangkan wajah satu subjek (sumber) ke video lain (target).
Dalam arti lain, teknik ini menerapkan muka seseorang yang bisa "ditempel" ke tubuh orang lain, layaknya mengedit foto. Hanya saja, kali ini diaplikasikan pada video.
Dikutip dari makeuseof.com pada Jumat (4/1/2019), hasilnya pun tampak nyata dan nyaris tak terlihat bak editan, bahkan termasuk mimik wajah dan teknik pencahayaan. Untuk lebih jelas, simak penjelasan dari Bloomberg berikut:
Teknologi ini dikatakan dapat membuat model wajah berdasarkan banyak-sedikitnya data visual, seperti gambar-gambar yang beredar di internet maupun media sosial.
Semakin banyak data yang diterima, maka semakin realistis pula hasilnya.
Inilah sebabnya mengapa politisi dan selebritas papan atas kerap menjadi sasaran empuk video porno palsu deepfake, karena ada begitu banyak data visual yang tersedia secara daring (online).
Oknum pembuat video mesum tersebut mencomot wajah si artis dari internet, kemudian menempelkannya di tubuh wanita lain yang bukan dirinya, yang sedang melakukan adegan seks atau seseorang yang sedang bugil.
Alhasil, korban tampak seakan-akan memainkan aksi porno yang tak pernah ia lakukan sama sekali.
Akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah kasus ini tak hanya menyerang tokoh-tokoh terkenal, tapi juga kalangan biasa.
Semenjak perangkat lunak deepfake tersedia di platform open-source (perangkat lunak yang kode sumber aslinya dibuat tersedia secara bebas, dapat didistribusikan dan dimodifikasi), para pengguna internet dapat menggunakannya dengan leluasa.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Asal Mula Teknologi Kecerdasan Buatan Deepfake
Teknologi di balik deepfake dikembangkan untuk banyak tujuan. Sama seperti Photoshop, perangkat lunak ini banyak diterapkan untuk dunia profesional, hiburan, dan hobi.
Pada awalnya, teknologi face-swapping atau tukar wajah digunakan dalam industri film. Salah satu contoh yang paling fenomenal adalah film Rogue One: A Star Wars Story yang rilis pada 2016.
Dalam film tersebut, para sinemas menggunakan teknologi sintesis wajah dan video untuk menciptakan kembali karakter Grand Moff Tarkin. Versi muda dari Putri Leia juga turut dibuat dalam film ini. Pada kedua kasus itu, model wajah aktor asli ditumpangkan ke pemain pengganti atau figuran.
Sementara itu, pihak lain telah mengembangkan deepfake untuk tujuan pendidikan, yakni pembuatan hologram. Misalnya, di Jerman ada satu proyek yang mengembangkan perangkat lunak video dan wajah palsu, sehingga kesaksian korban Holocaust dapat disajikan sebagai hologram interaktif di sebuah museum.
Advertisement
Mengapa Deepfakes Membuat Orang Takut?
Ketika orang-orang menyadari bahwa scammer dan orang-orang yang gemar menyebarkan hoax menggunakan Photoshop untuk membuat gambar palsu, kita dituntut untuk lebih skeptis. Untungnya, ada banyak cara untuk mendeteksi apakah gambar itu palsu atau asli, bahkan hanya dengan mata telanjang.
Tetapi, untuk deepfake berbeda ceritanya. Machine learning (cabang aplikasi dari kecerdasan buatan yang fokus pada pengembangan sebuah sistem yang mampu belajar "sendiri", tanpa harus berulang kali di program oleh manusia) membuat pemalsuan secara signifikan jadi jauh lebih mudah.
Perangkat lunak tersedia secara luas dan gratis. FakeApp, misalnya, adalah pilihan populer untuk membuat deepfake. Anda tidak perlu keterampilan tingkat lanjut untuk menerapkan pertukaran wajah (face-swap), perangkat lunak ini akan melakukannya untuk Anda.
Karena AI dan deep learning membantu menciptakan deepfake, teknologinya juga meningkat dan menjadi mengkhawatirkan.
Imbas Deepfake untuk Kaum Hawa dan Dunia Perpolitikan
Sejumlah oknum sudah memanfaatkan deepfake untuk tujuan jahat. Mereka kerap menggunakan FakeApp untuk membuat video palsu dari aktris terkenal yang terlibat dalam konten dewasa.
Gal Gadot, Daisy Ridley, dan Emma Watson hanyalah segelintir selebritas yang menjadi korban video porno palsu.
Ketika beberapa platform dan situs web dewasa tertentu telah melarang jenis video ini, namun keberadaannya terus muncul setiap hari. Bahkan, sejumlah situs web secara khusus membuat video porno palsu deepfake yang berisi wajah-wajah para artis Hollywood, berdasarkan permintaan pengguna.
Di sebagian besar negara, belum ada undang-undang yang menangani konten semacam ini, sehingga sulit untuk dikendalikan.
Sementara itu, deepfakes juga dapat menjadi alat yang ampuh dalam menyebarkan informasi yang salah. Bayangkan saja apa yang terjadi ketika kita menjadi sulit untuk mengetahui video mana yang benar-benar nyata atau bohongan?
Konsekuensi dari deepfake yang digunakan untuk tujuan politik jumlahnya adalah dua kali lipat. Pertama, deepfake membuat hoax lebih mudah untuk disebarkan. Kedua, rekaman berupa audio dan visual lebih punya kemampuan untuk meyakinkan publik, bila dibandingkan dengan teks atau foto.
Di sisi lain, deepfake juga bisa dijadikan alat oleh politisi untuk berkilah ketika menghindari pertanggungjawaban. Para politikus dapat dengan mudah mengklaim bahwa rekaman audio atau video yang beredar di jagat maya adalah deepfake.
Advertisement
Bagaimana Memerangi Deepfake?
Ketika banyak perusahaan teknologi di dunia ini meluangkan waktu untuk menguasai pasar, di sisi lain ada sejumlah pihak yang sedang berjuang untuk mengembangkan alat yang sanggup memerangi video palsu. Selain dapat memerangi peretas dan penjahat siber (cybercrime), kecerdasan buatan (AI) juga berguna untuk mendeteksi AI yang merusak sebuah tayangan video.
AI Foundation menciptakan plugin browser yang disebut Reality Defender untuk membantu mendeteksi konten deepfake secara daring (online). Plugin lain, SurfSafe, juga melakukan pemeriksaan serupa. Kedua alat ini bertujuan untuk membantu pengguna internet membedakan fakta dari sebuah fiksi.
Bahkan, Departemen Pertahanan AS turut berinvestasi dalam menyediakan perangkat lunak untuk mendeteksi deepfake. Sebab, pemerintah Negeri Paman Sam membutuhkan alat yang mampu memverifikasi keabsahan video dengan cepat.
Bagaimana dengan Indonesia?