16-2-1942: Horor Pembantaian di Pulau Bangka

Pembantaian warga Australia terjadi di Pulau Bangka di tengah Perang Dunia II. Insiden itu nyaris terkubur jika tak ada saksi yang selamat karena pura-pura mati.

oleh Elin Yunita KristantiHappy Ferdian Syah Utomo diperbarui 16 Feb 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2019, 06:00 WIB
Vivian Bullwinkel, penyintas sekaligus saksi mata pembantaian warga Australia di Pulau Bangka
Vivian Bullwinkel, penyintas sekaligus saksi mata pembantaian warga Australia di Pulau Bangka (Public Domain)

Liputan6.com, Canberra - Asia Tenggara menjadi medan pertempuran terbuka di tengah Perang Dunia II. Sehari sebelum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menyerang, SS Vyner Brooke angkat sauh dari Singapura.

Bahtera itu adalah harapan terakhir bagi mereka, khususnya warga Australia yang ingin hengkang sebelum pasukan Jepang datang. 

Kapal pesiar milik Kerajaan Sarawak tersebut mengangkut prajurit yang cedera, warga sipil, dan perawat dari Australian Army Nursing Service (AANS). SS Vyner Brooke yang sarat penumpang berlayar menembus kegelapan malam dan menempel ke daratan saat hari terang. Manuver itu dilakukan agar lolos dari penyisiran patroli laut Jepang. 

Namun, mereka tak selamanya beruntung. Pada hari kedua pelayaran, SS Vyner Brooke dan sejumlah kapal lain yang juga mencoba kabur dibombardir Jepang.  

Mereka terdampar di pesisir Pulau Bangka, yang sudah jatuh ke tangan Jepang. Pagi itu, 16 Februari 1942, sekitar 90 penyintas berkumpul di Pantai Radji, termasuk prajurit Sekutu, petugas penggotong tandu, warga sipil, dan 22 perawat Australia.

Mereka menyalakan api sebagai suar bagi mereka yang diyakini masih berada di air.

Dalam kondisi kepayahan, mereka kemudian berjalan menuju desa terdekat. Namun, di tengah perjalanan, patroli Jepang menghadang.

Para pendatang dipaksa takluk. Mereka pun menyerah. Pasukan Jepang kemudian membawa 50 tahanan anyar itu ke pantai. Para pria dipisahkan dari kaum hawa, dibawa ke sebuah tempat untuk dihabisi.

Pasukan Jepang kemudian kembali, membersihkan senapan di depan para perawat yang ketakutan, dan meminta para perempuan itu berjalan ke arah laut.

Lalu, berondongan peluru dari senapan mesin menerjang dari belakang. Darah pun tumpah, laut berubah merah. Ternyata, tak semuanya tewas. Satu orang perawat lolos dari maut. Namanya, Vivian Bullwinkel.

Peluru mengenai panggulnya, tapi tak sampai menembus organ-organ vitalnya. Perempuan itu pura-pura mati. Ia hanya bisa diam tak berkutik saat orang-orang di dekatnya sekarat. Sejumlah orang menjemput kematian dengan berdoa, lainnya memanggi nama-nama orang terkasih.

Seperti dikutip dari huffingtonpost.com.au, Jumat (15/2/2019), selama dua hari ia berbaring di perairan dangkal. Menanti pasukan Jepang hengkang sekaligus membiarkan asinnya air laut membersihkan lukanya.

Saat yakin situasi sudah aman, Bullwinkel lari ke arah semak-semak. Ia kemudian bertemu penyintas lainnya, prajurit bernama Patrick Kingsley yang selamat meski cedera berat.

Keduanya bersembunyi selama 12 hari. Menyadari luka-luka di tubuh mereka kian parah, Bullwinkel dan Kingsley memutuskan menyerah.

Namun, Kingsley akhirnya meninggal dunia. Sementara, Bullwinkel harus menghadapi mimpi burul lainnya: tiga tahun dalam kamp tahanan perempuan. Ia menderita akibat malnutrisi, kelaparan, dan jadi objek kebrutalan serdadu Jepang.

Bagaimanapun berat penderitaannya, Bullwinkel berhasil tetap hidup. Saat ia kembali ke Australia, kisahnya memicu geger di Negeri Kanguru. Tak ada yang menyangka pembantaian telah terjadi.

Bullwinkel juga mengontak keluarga para korban pembantaian, berbagi informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi.  Pada mereka yang berduka, ia menceritakan betapa tegarnya para korban menjemput ajal.

Pada 1947 ia bersaksi dan menguak pembantaian yang dilakukan tentara Jepang dalam pengadilan kejahatan perang di Tokyo. Seandainya sang perawat tak selamat, kisah pembantaian warga Australia di Pulau Bangka mungkin akan terkubur selamanya.

Kutukan Makam Firaun

Melihat dari Dekat Mumi Firaun Tutankhamun
Sarkofagus emas dinasti ke-18 Firaun Tutankhamun (1332–1323 SM) terlihat di ruang pemakamannya di makam bawah tanahnya (KV62) di Lembah Para Raja di tepi barat sungai Nil, Luxor, Mesir (31/1). (AFP Photo/Mohamed El-Shahed)

Selain pembantaian di Pulau Bangka, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada tanggal 16 Februari.

Pada 16 Februari 2001, peristiwa menyedihkan terjadi di Kosovo. Sebuah bom meledak di antara rombongan bus yang berisi 250 peziarah etnis Serbia.

Rombongan ini menuju Kosovo untuk mengadiri sebuah upacara keagamaan. Akibat kejadian itu, 7 orang peziarah tewas, sementara 40 orang lainnya menderita cedera.

Sementara, sejarah mencatat, pada 16 Februari 1923, arkeolog Howard Carter membuka kamar makam Firaun Tutankhamun, menemukan peti mati dari emas berisi mumi di dalamnya, juga timbunan harta karun.

Tentu saja, itu temuan berharga, namun, konon kutukan menimpa mereka yang berani mengganggu makam Tut.

Memang sejumlah orang terkait pembukaan makam tersebut satu per satu meninggal dunia. Dengan penyebab yang misterius. Dari penjaga keamanan hingga arkeolog.

Salah satu yang tewas adalah Lord George Herbert yang mendanai proyek arkeologi itu. Ia meninggal pada 25 Maret 1923, setahun setelah makam Tut dibuka. "Banyak orang menyebut, kematiannya misterius, namun nyatanya, ia menderita sakit sebelum tiba di Kairo. Tewas akibat penyakit yang berkaitan dengan nyamuk," demikian dimuat LiveScience.

Namun, Howard Carter, arkeolog yang membuka langsung kamar makam itu hidup hingga 1939, 16 tahun setelah ia menemukan kuburan Tut. Ia meninggal di usia 64 tahun akibat kanker.

Ide bahwa ia korban kutukan dicetuskan tokoh terkenal, penulis novel Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle. Juga dari Carter sendiri, untuk menjauhkan orang-orang dari temuan berharganya kala itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya