Liputan6.com, Mortsel - Siang bolong di Mortsel, Senin 5 April 1943, komunitas di selatan Antwerp, Belgia itu sedang menikmati hari cerah pertama pada musim semi.
Anak-anak duduk di bangku masing-masing dalam kelas atau sedang berlatih senam di halaman sekolah. Sejumlah guru mengajak murid-murid mereka menyusuri jalan setapak menuju ke hutan di desa tetangga, Edegem.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, para orang dewasa sedang bekerja di pabrik, bertanam di kebun, antre menukar kupon dengan jatah makanan, menunggu kereta, atau mengunjungi kerabat. Meski Perang Dunia II sedang bergolak, kehidupan di Mortsel terlihat damai hari itu.
Di tempat terpisah, komando pesawat pembom US Army Air Corps (USAAF) VIII Air Force mendapatkan perintah untuk membombardir pabrik Erla di Mortsel.
Pabrik itu awalnya milik Belgia, yang kemudian diambilalih pihak Berlin untuk pemeliharaan pesawat-pesawat Luftwaffe atau Angkatan Udara Jerman era Nazi. AS ketar-ketir jika pihak Hitler menggunakan fasilitas itu untuk memperbaiki jet-jet tempur Messerschmitt yang dikenal garang di udara.
Pihak AS menganggap, pabrik itu harus dihancurkan. Rata dengan tanah.
Alih-alih terbang rendah, lalu menjatuhkan bom ke titik di mana target berada, yang dipilih justru strategi 'bumi hangus' untuk menghancurkan sasaran yang relatif kecil.
Total, AS mengirimkan 70 armada jet pembom dan pengintai (reconnaissance aircraft) Boeing B-17 Flying Fortress dan 28 Liberator ke arah Antwerp, dengan muatan 774 bom dengan berat total 283 ton.
Tepat pukul 13.00, tengah hari, pesawat-pesawat itu lepas landas dari pangkalan.
Sekitar pukul 15.30, kala langit masih biru dan cerah, 82 jet terlihat di langit Mortsel. Sisanya balik kanan karena mengalami masalah teknis.
Armada AS itu terbang di ketinggian 25 ribu kaki atau 7.000 meter dan bersiap menjatuhkan muatan beratnya.
Sistem anti-pesawat yang berada di pabrik Erla dan Prins Baudewijnlaan kala itu tak berfungsi karena jet-jet AS terbang sangat tinggi. Di luar jangkauan radar.
Flying Fortress kali pertama menjatuhkan bom, kemudian diikuti lainnya. Total ada 223 ton bahan peledak yang dijatuhkan ke Mortsel.
Terbang di ketinggian 7.000 meter mungkin adalah strategi terbaik untuk menghindari kejaran pesawat Jerman. Namun, menjatuhkan bom dari ketinggian itu, dengan teknologi masa itu yang belum canggih, adalah pilihan buruk.
Hanya empat atau lima bom yang mengenai target, memicu kerusakan parah dan menyudahi hidup 307 buruhnya. Meski demikian, pabrik itu kembali beroperasi beberapa pekan kemudian.
Kebanyakan bom, sekitar 600 buah, meleset dan jatuh di permukiman yang disebut Oude-Go di timur Erla. "Itu adalah hari yang indah...lalu mendadak gelap," kata saksi mata, Maria Commerman seperti dikutip dari situs pieterserrien.be.
Anak-anak, pekerja dan pejalan kaki nyaris tidak mendengar sirene serangan udara ketika bom mulai dijatuhkan. Akibatnya fatal.
Empat sekolah di Oude-God rusak berat. Seluruh sisi depan Sekolah Saint-Lutgardis hancur, 61 anak dan 5 biarawan ditemukan tewas di bawah puing-puing.
Sekolah Saint Vincent di Edegem Street kehilangan 103 murid dan 3 gurunya hanya dalam hitungan menit. Sekolah swasta Les Abeilles rusak berat. Dua anak ditemukan tewas di jalan di dekatnya.
Sementara, di sekolah keempat, Guido Gezelle di Eggestraat, sejumlah bom meledak di dekatnya. Sejumlah bagian gedung runtuh dan mengubur banyak siswa. Setidaknya 23 muridnya tewas.
Hari itu, hidup nyaris seluruh generasi anak-anak di Mortsel, Belgia ditamatkan paksa.
936 Korban Jiwa
Di belakang sekolah Saint Vincent, berdiri gereja Holy Cross. Semua kaca patri yang ada di sana pecah, furnitur hancur lebur. Menara utama rumah ibadah itu rusak berat.
Pemandangan kehancuran mendominasi lanskap Oude-God. Di sekitar alun-alun, jalanan dipenuhi orang-orang yang nyaris tewas, mobil-mobil terbakar, tram-tram yang terguling, dan puing-puing besar yang pernah menjadi bagian dari rumah-rumah megah di sekitarnya.
Pabrik Gevaert, di utara Oude-God juga tidak selamat. Sebanyak 43 pekerjanya tewas.
Total ada 936 orang yang meninggal dunia, 107 jasad di antaranya tak bisa dikenali. Hanya 829 jenazah yang berhasil diidentifikasi atas bantuan keluarga dan kerabat.
Tak hanya itu, lebih dari 1.600 orang cedera, 600 di antaranya masuk kategori luka berat.
Dari 3.700 rumah di Mortsel, 3.424 rata dengan tanah atau rusak parah. Sistem transportasi lumpuh. Puing-puing di jalan-jalan membuatnya tidak bisa dilewati kendaraan tim penyelamat.
Selain tragedi Bombardir Mortsel, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada 5 April.
Pada 1955, Winston Churchill mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Britania Raya karena alasan kesehatan.
Sementara, pada 1949, kebakaran melanda sebuah rumah sakit di Effingham, Illinois yang menewaskan 77 orang. Peristiwa itu memicu perbaikan aturan pencegahan kebakaran di AS.
Dan, pada 5 April 2009, Korea Utara meluncurkan roket Kwangmyongsong-2 yang kontroversial. Satelit yang digendongnya melewati wilayah teritorial Jepang. Ulah Pyongyang tersebut sontak memicu reaksi keras Dewan Keamanan PBB.
Advertisement